Pemerintah Enggan Tindak Perusahaan Kartel

"Perusahaan yang diduga melakukan kartel sudah diketahui. Mengapa pemerintah tidak kunjung bertindak," tukas Ketua LP3E Kadin Indonesia, Ina Primiana heran.
 
Jakarta, Aktual.co —Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, Ina Primiana mempertanyakan sikap aneh dari pemerintah dan pihak yang berwenang terhadap adanya prektek kartel pangan di Indonesia. Ada apa hayo ? Apa terjadi kongkalikong dan konspirasi karetel dengan oknum pemerintan?

"Perusahaan yang diduga melakukan kartel sudah diketahui. Mengapa pemerintah tidak kunjung bertindak," tukas Ketua LP3E Kadin Indonesia, Ina Primiana heran.

Ina  kepada media di Jakarta, Kamis (7/2) menyatakan sangat  meyakini adanya praktek kartel pangan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari harga komoditas pangan seperti kedelai, beras, gula, jagung dan daging menunjukkan trend yang meningkat dan semakin fluktuatif.

"harga meningkat 100 persen dari 2009 -2012," katanya

Dengan adanya kenaikan harga tersebut maka importir diuntungkan sebesar 15-30 persen dari total impor pangan Indonesia yang mencapai Rp 90 triliun.

Fakta yang diungkapkan Kadin tersebut diperkuat juga oleh laporan Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang menyatakan sejumlah produk pangan lokal kerap menjadi lahan praktek kartel. Kartel tersebut yang diduga mengendalikan harga, stok, dan pasok pangan.

Sebelum itu Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha  (KPPU) Munrokhim Misanam membenarkan ada kartel pangan di Indonesia. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang diamanatkan oleh UU no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.KPPU bertugas mengawasi tiga hal.

Masing-masing yaitu:
 
1. Perjanjian yang dilarang yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat

2. Kegiatan yang dilarang yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. 
 
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalah gunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Berdasarkan tupoksi tersebut, maka Munrokhim Misanam tegas menyatakan bahwa, "Indikasinya memang ada kartel, tetapi untuk menindak hal tersebut harus memiliki fakta hukum,"

Saat dihubungi di Jakarta, Kamis (7/1), selaku komisioner KPPU Munrokhim Misanam mencontohkan dalam industri gula ternyata Indonesia dikuasai hanya oleh 3 perusahaan. Namun, sayang Komisioner KPPU ini engan menyebutkan perusahaan mana saja yang diduga melakukan kartel.

Penyebab kartel sendiri menurut Munrokhim adalah kesalahan kebijakan pemerintah dalam hal perencanaan

Ada Kartel di Semua Lini Usaha

Jakarta - - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah menginjak usia ke-12 tahun namun perkembangannya dirasa masih lambat, terutama dari sisi perlawanan terhadap kartel. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua lini usaha berpotensi besar ditunggangi kartel.

Menurut ketua KPPU Tadjuddin Noer Said, 10 – 20% pelaku usaha di Indonesia melakukan konglomerasi. “Kartel ini mengendalikan harga pasar. Mereka adalah jawaban atas tidak seimbangnya pertumbuhan pesat ekonomi Indonesia dengan pendapatan per kapita penduduknya. Kartel membuat ekonomi negara tidak sehat,” kata Tadjuddin.

Lebih gawatnya lagi, masyarakat tidak mengetahui aksi para kartel selama ini. Padahal kartel adalah salah satu penyebab berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. “Masyarakat tidak memahami kartel, makanya selama ini tidak pernah protes kalau membeli sesuatu dengan harga mahal. Parahnya kalau hal ini sudah dianggap wajar oleh masyarakat,” jelas Tadjuddin.

Contohnya, kartelisasi operator telekomunikasi dalam mematok tarif SMS dulu. Dengan tarif Rp 350 per SMS, kerugian yang dialami rakyat Indonesia mencapai Rp 1.6 trilyun! Demikian juga penetapan harga tarif pesawat oleh asosiasi penerbangan pada tahun 2001 dulu.

Saat itu, mahalnya tiket pesawat membuat pertumbuhan penumpang per tahun hanya ada di kisaran 3-4%. Sejak advokasi KPPU yang didukung oleh kebijakan pemerintah, industri penerbangan dan bandara bangkit lagi. Tiket murah membuat pertumbuhan penumpang melesat 34% dan hal itu bisa dilihat dengan padatnya bandara-bandara di seluruh Indonesia.

KPPU memang gencar menjalankan komitmennya memberantas kartel baik di tingkat daerah-daerah, nasional bahkan internasional. Namun kembali lagi, keberhasilan ini baru bisa tercapai jika ada gerakan massal. “Harapan saya, rakyat bisa menyadari aksi kartel dan melapor ke KPPU,” ujar Tadjuddin.

Beberapa waktu lalu, sempat marak pembicaraan tentang Indonesia yang berpotensi menjadi negara gagal. “Kalau dari sudut pandang KPPU, kegagalan Indonesia adalah dari segi penerapan hukum persaingan usaha. Yang saya takutkan, kartelisasi ada hubungan istimewa dengan kekuatan politik,” kata Tadjuddin.

Tadjuddin menambahkan, selama ini inisiatif KPPU memberantas kartel tidak diimbangi dukungan pemerintah. “KPPU terbatas dari segi sumber daya dan anggaran sehingga kesulitan dalam membangun sistem karir para staf. Akibatnya, sudah banyak staf KPPU yang bagus-bagus dididik hingga ke luar negeri dan paham betul tentang hukum persaingan usaha malah lari karena ketidakjelasan status dari pemerintah. Dari segi anggaran pun demikian.”

Kartelisasi merupakan salah satu bahasan penting yang diangkat di The 2nd ASEAN High Level Meeting on Competition yang digelar di Yogyakarta, 25-30 Juni 2012 dan dihadiri delegasi negara anggota ASEAN.

Selain kartel, materi penting lain yang diangkat di pertemuan internasional ini adalah rancangan instrumen persaingan usaha ASEAN yakni Manual on Regional Core Competencies. Instrumen ini dibahas sehari setelah The 2nd AHLMC yaitu pada forum The 2nd Workshop on Regional Core Competencies.

Politik Kartel Partai di Indonesia

Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era Reformasi paling mutakhir dilakukan oleh Kuskridho Ambardi, dalam disertasinya The Making of Indonesian Multy Party System; A Cartelized Party System and Its Origin, dari The Ohio State University tahun 2008. Disertasi tersebut telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam buku berjudul Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Ambardi  dalam studinya tersebut melakukan pemotretan terhadap dinamika partai politik, khususnya sistem kepartaian di Indonesia dalam konteks politik era reformasi yaitu pemilu legislatif 1999 dan 2004 dalam rangka memperebutkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan keterlibatan partai politik di kancah pemilu Presiden 1999 oleh DPR dan Pemilu Presiden langsung oleh rakyat tahun 2004.

Pemotretan terhadap dinamika politik kepartaian itu tidak hanya berhenti dalam kontestasi politik pemilu legislatif dan pemilu presiden saja, tetapi jauh memasuki bagian terdalam dari ranah kekuasaan, dimana disetiap sudut kekuasaan (DPR juga Pemerintah) partai politik memainkan peran penting dalam rangka memperebutkan sumberdaya politik dan ekonomi. Keterlibatan partai politik dalam setiap sudut ruang kekuasaan tersebut sebagai bagian yang sangat penting bagi mereka untuk menjaga kelangsungan hidup partai, sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan.

Temuan dalam disertasi Ambardi adalah bahwa di era reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik yang secara signifikan pada akhirnya merubah sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu sudah tidak lagi memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Isu-isu ideologis hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh perbincangan politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan pembagian kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada saat pemilu saja. Setelah pesta pemilu, partai politik segera melakukan penyesuaian diri di dalam lingkungan struktur politik yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai untuk masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.

Analisis terhadap sistem kepartaian (system party) adalah bagaimana menjelaskan perilaku partai politik yang menjadi bagian dari suatu sistem dan berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain yang ada di dalam sistem itu (Budiardjo, 2008: 415).  Kiranya perlu dilakukan kajian kritis (review) terhadap hasil dari temuan studi sistem kepartaian ini, oleh karena ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan klarifikasi dan pengujian ulang terhadap temuan-temuan tersebut. Utamanya berkaitan dengan apa yang disebut dengan analisa sistem kepartaian tersebut. 

Pertama, pada level interaksi antar partai, mengandaikan adanya aktor atau agen-agen partai politik yang berperan menjadi wakil partai, mewakili sebuah struktur partai. Artinya perlu dibicarakan bagaimana dengan peran agen dalam kontek sistem itu.

Kedua, pada level partai politik, adanya agen politik dan struktur politik dalam partai politik, memiliki dinamikanya sendiri interaksi antar agen dan agen dengan struktur partai. Diskusi di dalam partai mencakup nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai ideologi menjadi landasan terbentuknya partai dan berfungsi sebagai “jantung” hidup-matinya partai itu. Sebagaimana para sarjana ilmu politik mendefiniskan tentang partai politik bahwa pentingnya nilai-nilai (ideologi) itu sebagai daya gerak partai. Ideologi juga menjadi kajian tersendiri dalam ilmu politik. Tumbuhnya politik kartel menandai berakhirnya ideologi partai. Sebagimana Daniel Bell mempunyai kesimpulan bahwa kemenangan kapitalisme menandai berakhirnya ideologi (the end of ideology) dan Fukuyama menambahkan bahwa pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of history).

Perubahan perilaku partai politik pada akhirnya akan bersentuhan dengan ideologi yang dapat menimbulkan konflik dan kontradiksi. Konflik dan kontradiksi dalam pengertian Marxian atau pun neo-Marxian menjadi bagian pentinguntuk dikaji lebih lanjut. Temuan adanya perubahan sistem kepartaian itu mengesampingkan kemungkinan adanya konflik dan kontradiksi dalam partai. Kajian terhadap Konflik dan kontradiksi (Gidden, 2009) mestinya mendapt perhatian dari kajian tentang sistem kepartaian ini. Sehingga secara keseluruhan ini berkait dengan fokus kajian Anthony Gidden berkaitan dengan teori strukturasi. Ketiga, perbincangan sistem, sebagaimana dipahami dalam teori-terori sosial, dalam temuan sistem kepartaian ini kurang lebih mengesampingkan kemungkinan terjadinya krisis legitimasi (Habermas, 2004) dalam kontek sistem politik itu. Studi tentang perubahan sistem kepartaian ini menjadi kebutuhan bagi upaya penyempurnaan teoritis dan upaya perbaikan kepartaian secara praktis. Dengan demikian ketiga hal tersebut mempunyai signifikansi dalam upaya review ini.

Tumbuhnya Politik Kartel, Matinya Ideologi Partai?

Potret kepartaian di Indonesia dalam persaingan politik di arena pemilu maupun persaingan dalam kekuasaan pada era 1950-an (orde lama) di dominasi oleh isu-isu kegamaan dan kedaerahan. Memang pada masa itu yang tumbuh adalah cleavage keagamaan (Islam versus sekuler) dan kedaerahan (nasional versus regional). Persaingan antara kelompok Islam dengan kelompok sekuler terbukti dengan adanya perdebatan tentang Negara Islam dan Negara Sekuler. Demikain pula politik kedaerahan menjadi bagian yang menggairahkan, seperti lahirnya gerakan perjuangan politik yang berbasis kedaerahan. Baru kemudian pada sejak 1970-an (orde baru) dengan dimulasinya modernisasi, industrialisasi mendorong munculnya cleavage kelas. Sebagai akibat dari industrialisasi lahir kelas kapitalis dan kelas buruh. Dengan demikian pada masa orde bari struktur cleavage sosial lebih kompleks, sebagaimana ada di beberapa negera-negara demokrasi maju. Namun demikian karena watak dasar kepolitikan orde baru yang otoriter, saluran kepentingan yang berbasisikan ketiga cleavage tersebut tidak mendapat saluran politik yang memadai karena tekanan dan kekangan politik rezim orde baru yang sangat kuat. Berkahirnya  kekuasaan rezim orde baru (1998) menandai terbukanya kebebasan politik dan saluran-saluran politik, serta partai politik untuk memobilisasi semua cleavage tersebut. Era demokratisasi itu membawa dampak bagi terbentuknya sistem kepartaian baru dengan dasar persaingan politik dengan memobilisasi ketikg cleavage tersebut. (Ambardi, 2008: 91-92).

Paska lengsernya kekuasaan Soeharto (1998), maka kebutuhan berikutnya adalah menata aturan main untuk membangun sistem politik baru melalui pemilu yang adil dan demokratis. Akhirnya disusunlah beberapa kebutuhan-politik sebagai aturan main dalam pemilu, meliputi penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan keterlibatan warga dalam pemilu. Netralitas militer dan korps pegawai negeri sipil menjadi bagian yang dituntaskan. Demikian pula adanya jaminan kebebasan ideologi sebagai basis kepentingan kolektif digunakan sebagai asas partai diakomodasi dengan baik. Hal lain yang menempati porsi besar adalah diakomodasinya kepentingan daerah. Dengan diakomodasinya kepentingan daerah, maka partai-partai politik ideologis mengalami kesulitan untuk melakukan mobilisasi cleavage kedaerahan. (Ambardi, 2008: 123).

Arena politik dalam pemilu 1999 diwarnai persaingan antara dua kubu ideologis: Islam dan sekuler. Terjadi pertarungan yang sangat keras antara golongan Islam dan sekuler tersebut. Meski kedua kubu mengangkat isu kelas dan kedaerahan, tetapi pada kenyataannya isu-isu itu tidak memberikan perbedaan yang signifikan secara ideologis. (Ambardi, 2008: 234) Menurut Ambardi sistem kepartaian di Indonesia bergerak kearah system kepartaian yang terkartelisasi dengan beberapa bukti. 

Pertama, beberapa partai politik membentuk koalisi turah yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan yaitu dalam pembentukan kabinet selama dua kali kabinet pemerintahan Gus Dur-Mega dan pemerintahan Mega-Hamzah sepanjang tahun 1999-2004. Dinamika politik paska pemilu diwarnai adanya pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat ideologis pada saat pemilu bergerak kearah kerjasama antar partai dalam rangka meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi keuntungan pragmatis masing-masing partai politik. 

Kedua, adanya migrasi ideologis yang dilakukan secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok dan secara kolektif meninggalkan program-program partai mereka, terjadi perubahan komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen pro-pasar. Sistem kepartaian yang terkartelisasi ini juga menemukan bentuknya kembali dalam medan politik pemilu 2004. Meski masih tetap muncul adanya isu ideologis dalam pemilu legislatif, hingga tahap pertama pilres 2004, namun ketika masuk pilpres tahap kedua dan dalam arena politik penyusunan kabinet, semua partai secara berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik, posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah system politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai. (Ambardi, 2008: 235, 281).

Temuan studi Ambardi ini dapat disarikan, pertama selepas gerakan reformasi 1998 dengan turunnya Presiden Soeharto, dimaknai oleh banyak kalangan aktifis politik sebagai era keterbukaan politik dan kebebasan politik, ditandai dengan apa yang disebut euphoria reformasi pada tahap awal reformasi dengan tumbuhnya berbagai partai politik berbasis ideologi (agama, nasional, sekuler, Marxian), berbasis kepentingan daerah dan berbasis kepentingan kelas (buruh). Kedua, arena pertarungan politik pemilu legislatif 1999 lebih di dominasi oleh persaingan ideologis dan sedikit bersifat kedaerahan dan kelas. Tetapi menjelang pemilihan presiden oleh DPR terjadi persaingan yang bersifat ideologis dan secara cepat bergerak kearah kerjasama antar partai politik tanpa persaingan ideologis dengan mengemukanya faktor kepentingan yang bersifat pragmatis, kekuasaan. Fenomena ini terulang kembali pada pemilu 2004, dimana pertatungan dalam arena politik pemilu legislatif masih ditemui faktor-faktor persaingan ideologis sampai pilpres langsung tahap pertama. Tetapi pada pilpres tahap kedua dan tahap penyusunan kabinet partai politik segera mengakhiri persaingan ideologis beralih ke dalam bentuk kerjasama politik untuk masuk ke dalam kabinet. Hal ini sekaligus dalam sistem kepartaian di Indonesia tidak terjadi oposisi yang bermakna. Ketiga, partai-partai politik secara meyakinkan dalam beberapa hal mengabaikan “ideologi kepartaian” yang telah digembor-gemborkan menjadi lansdasan perjuangan, namun dalam tataran praktik politik partai-partai politik “mengakhianati” ideologi partainya oleh karena kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi. Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai politik berkepentingan terlibat dalam proses politik dalam DPR maupun pemerintahan untuk memperoleh sumber daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi mesin partai politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan menandai berakhirnya ideologi kepartaian menuju kerjasama.

Strukturasi Giddens dan Sistem Kepartaian Terkartelisasi

Berkaitan dengan studi Ambardi ini, saya akan mebedah dengan kerangka teori strukturasi Giddens. Kaitan teoritiknya, dalam memperbincangkan sistem kepartaian dalam konteks struktur politik era reformasi, maka tidak terelakkan pentingnya memperbincangkan kaitan aktor (agensi), sistem dan struktur. Giddens memberikan penjelasan perbedaan antara struktur, sistem dan strukturasi sebagai terma yang sangat diperlukan dalam teori sosial, sekaligus untuk membedakan dengan teori strukturalisme-fungsionalisme Parsons. Struktur sebuah organisme hadir secara terpisah dari fungsinya dalam pengertian khusus tertentu: bagian-bagian tubuh dapat diteliti ketika organismenya mati, ketika tubuh berhenti berfungsi. Namun sebaliknya dalam sistem sosial, tidak lagi hadir ketika berfungsi di dalam sistem itu berhenti: pola-pola hubungan sosial hanya hadir sepanjang hubungan sosial terorganisasi sebagai sistem , dan direproduksi sepanjang perjalanan waktu. (Giddens, 2009: 106).

Struktur sosial cenderung mencakup dua unsur yaitu pemolaan interakasi (patterning of interaction) yang menyiratkan hubungan antara aktor dengan kelompok; dan kontinuitas interaksi di dalam waktu. Singkatnya Giddens member batasan, struktur meliputi aturan dan sumber yang disusun sebagai sifat-sifat sistem sosial yang hanya hadir sebagai sifat-sifat struktural. Sistem adalah relasi yang direproduksi di antara aktor atau anggota kolektif, yang disusun sebagai praktik sosial yang teratur. Strukturasi sebagai aneka kondisi yang memengaruhi kontinuitas atau transformasi struktur, dan karenanya reproduksi sistem. (Giddens, 2009: 115)

Studi Ambardi mengabaikan adanya kemungkinan dinamika antara aktor, sistem dan struktuk. Pengabaian itu dapat dilihat dari pandangan yang memperlakukan perilaku partai politik hanya dalam konteks institusional kepartaian, partai sebagai institusi. Sementara dinamika internal partai yang kemungkinan besar juga terjadi tidak menjadi sasaran pengamatannya. Padahal dinamika proses antar aktor dalam internal partai yang ada kesan “menggadaikan ideologi” mestinya menjadi sangat menarik. Sesungguhnya cara pandangn Ambardi masih bersifat elitis dalam melihat perilaku partai.

Timbangan teoritiknya adalah apa yang dikatakan Giddens adanya dinamika (proses) yang terbuka antara aktor (agen) dengan struktur dalam mereproduksi sistem. Sementara itu ada tiga tingkat reproduksi sistem. Pertama, bagaimana penetrasi para aktor terhadap institusi yang direproduksinya di dalam dan melalui praktik mereka memungkinkan reproduksi praktik-praktik itu sendiri. Semua aktor sosial banyak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan di dalam proses interaksi; dan pada saat yang sama terdapat banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang kondisi dan konsekuensi aktivitas mereka dan diakui mempengaruhi perbuatan mereka. Kedua, mengkaji dampak-dampak lolosnya aktivitas dari maksud para penggagasnya terhadap reproduksi praktik, melalui aneka proses yang menghubungkan praktik yang bersangkutan dengan cirri-ciri lain sistem sosial yang lebih luas yang menjadi induknya. Ketiga, regulasi-diri refleksif, berhubungan kembali secara langsung dengan rasionalisasi perilaku dalam praktik. Perilaku dipandu oleh kesadaran akan kinerja dengan prinsip umpan-balik. (Giddens, 2009: 410)   

Studi Pergeseran Ideologi Kepartaian

Studi Ambardi secara tidak tegas menyebut arah ideologi seperti apa sesungguhnya dengan adanya pengabaian-pengabaian ideologi partai demi kepentingan yang bersifat pragmatis. Apakah ini menandai berkahirnya ideologi kepartaian di Indonesia? Dalam konteks ini saya kembali akan memberikan penilaian lain berkaitan pergeseran ideologi kepartaian di Indonesia saya kaitkan dengan sejarah pergeseran ideologi kepartaian di negara-negara Barat.

Berkaitan dengan sejarah partai politik di Barat, Miriam Budiardjo membedakan beberapa jenis partai politik, diantaranya partai massa dan partai kader/partai ideologi  (Budiardjo, 2008: 398-399). Partai politik di Barat (Inggris dan Perancis) dekade 18-an pada awalnya bersifat elitis dan aristokratis dalam rangka mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Seiring meluasnya hak politik warga, maka dilakukan upaya perluasan dukungan politik warga dan pada abad ke-19 mengambil bentuk organisasi massa politik menandai lahirnya partai politik yang pada perkembangannya berperan menjadi penghubung (intermediary) antara rakyat dan pemerintah.

Pada tahap awal partai politik hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilu, sementara paska pemilu kurang aktif, ini yang disebut dengan patronage party (partai lindungan yang dilihat hanya dalam rangka patron-client relationship) yang juga bertindak sebagai broker. Kemudian berkembang lahirnya partai massa yaitu partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan kelebihan jumlah anggota, terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik yang ada dalam masyarakat. Mereka sepakat bernaung di bawah partai tersebut untuk memperjuangkan suatu program tertentu dalam parlemen. Partai politik tersebut menjadi agak kabur ketika harus memperjuangkan banyaknya kepentingan dari berbagai aliran politik yang ada di dalam partai. Contoh dari jenis partai ini adalah Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat. Perkembangan selanjutnya di Barat muncul partai yang bersandar pada suatu ideologi (weltanschauung) tertentu seperti Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam beberapa hal partai jenis ini lebih disiplin, sentralistis dalam rangka menjaga kemurnian doktrin politik, ikatan ideologi yang sangat kuat.

Menjelang Perang Dunia I timbul klasifikasi partai berdasarkan ideologi dan ekonomi yaitu partai “kiri” dan partai “kanan”. Partai yang berideologi “kiri” berpandangan perlunya campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi, pro-perubahan, memperjuangkan hak-hak warga dan kesetaraan (equality) untuk lapisan bawah. Partai yang berpandangan “kanan” berpandangan pasar bebas, status quo atau konservatif dan menekankan kewajiban-kewajiban kepada warga. Menjelang Perang Dunia II di Barat terjadi perkembangan baru dalam konstelasi kepartaian yaitu adanya kecenderungan meninggalkan tradisi pembedaan jenis partai patronage vs weltanschauung/ideologi, massa vs kader, dan “kiri” vs “kanan”. (Budiardjo, 2008: 400)

Hal tersebut terjadi karena adanya partai-partai kecil yang ingin menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum, maka perlu adanya perluasan dukungan pemilih (electoral) dengan merangkul pemilih tengah (median voter atau floating voter). Beberapa partai kecil tersebut ternyata berhasil menang dalam pemilu, membentuk pemerintahan baru dan memperjuangkan program partainya. Kemenangan ini dapat di raih karena adanya upaya mengendorkan sikap doktriner partai, kaku dan eksklusif menjadi fleksibel dan inklusif. Sehingga di negara Barat yang sudah mapan ada kecenderungan pergeseran ideologi partai secara sentripetal yaitu dari “exterem kiri” ke tengah (trend to the center), demikian pula dari “extreme kanan” ke tengah. Fenomena konvergensi ideologi kepartaian antara “kiri” dan “kanan” ini oleh Otto Kircheimer dikatakan sebagai gejala de-idelogisasi partai-partai. (Axford, 2002: 361)

Athony Downs menjelaskan bahwa konvergensi ideologi partai tersebut terjadi secara berbeda, yaitu dalam masyarakat mapan terjadi konvergensi (titik temu) ideologi partai “kiri/kanan” menjadi partai tengah, sementara dalam masyarakat yang terpolarisasi tidak terjadi konvergensi ideologi partai “kiri/kanan” tetap dalam posisi extreme partai “kiri/kanan”. (Budiardjo, 2008: 401) Berkaitan dengan perkembangan ini, menurut Otto Kircheimer timbul jenis partai politik modern yang disebut catch-all party yaitu partai politik hendak menghimpun semaksimal mungkin dukungan warga dari berbagai macam kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi partai yang inklusif. (Axford, 2002: 361) Partai jenis ini terorganisir secara profesional, memperjuangkan kepentingan umum secara luas daripada kepentingan satu kelompok saja. Lahirnya catch-all party ini terkait dengan perubahan sosial dan politik, serta kemajuan teknologi (informasi) dimana publik dengan mudah dapat mengakses perkembangan sosial dan politik.

Berkaitan dengan konvergensi ideologi kepartaian, maka menurut saya terlalu tergesa-gesa untuk menyimpulkan bahwa sistem kepartaian yang terkartelisasi dengan mengendornya ideologi kepartaian menuju kea rah konvergensi ideologi. Oleh karena secara kultural dan sosial politik kelahiran partai politik di Indonesia dengan negara-negara Barat sangat berbeda. Arah kovergensi sebagai rangkaian dari gerak kapitalisme global, barangkali hal ini dapat dipertimbangkan. Tetapi tidak ada hal yang meyakinkan bahwa langkah-langkah pragmatis politis partai-partai politik itu didasarkan atas pemikiran kapitalisme-liberal. Kecuali, sebuah arus besar yang tidak menjadi sebuah agenda setting partai politik itu dalam menikmati akibat tidak langsung dari masuknya praktik ekonomi-kapitalistik ke dalam mesin politik-administratif. 

 Terkait gejala de-ideologi partai politik, di dunia Barat terjadi debat The End of Ideology Debate, dipicu jatuhnya fasisme sesudah Perang Dunia II dan mundurnya komunisme. Sarjana Amerika, Daniel Bell dalam bukunya The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties mengatakan:

Di Barat, ada konsensus di antara para intelektual tentang masalah politik, yaitu: diterimanya negara kesejahteraan (welfare statei); diidamkannya desentralisasi kekuasaan; sebuah sistem ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralisme politik (political pluralism). Dengan demikian masa ideology telah berakhir. (Budiardjo, 2008: 402)

Konsensus yang dimotori kaum sosial-demokrat dimaksud menyangkut perlunya dilaksanakan welafer economics melalui konsep welfare state¸ dimana sumber daya Negara didistribusikan dengan lebih adil sehingga mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya. Sarjana Amerika yang lainnya, Francis Fukuyama melalui bukunya The End of History and the Last Man mengatakan bahwa  globalisasi sebagai sebuah kecenderungan umum akan melanda seluruh dunia, majunya ekonomi pasar akan diikuti dengan diterimanya prinsip-prinsip demokrasi liberal secara universal. Samuel Huntington termasuk sarjana Amerika lainnya yang menentang pandangan kedua sarjana Amerika tersebut. Menurut Huntington, dirinya menyaksikan bahwa gerak gelombang demokratisasi di negara-negara dunia ketiga masih melibatkan ideologi-ideologi (agama) sebagai bagian penting dalam dinamika politik. Pandangan kedua sarjana tersebut terlihat sangat ambisius dengan menegasikan segi-segi negatif dari globalisasi dan meremehkan fakta-fakta lain di belahan dunia lain bahwa sesungguhnya perkembangan di negara-negara Barat tidak secara otomatis menjadi sebuah gejala universal yang pasti akan diikuti seluruh dunia. (Budiardjo, 2008: 403)

Pembahasan tentang ideologi sejak Marx hingga pemikir-pemikir sosial berikutnya seperti Habermas dan Althusser, mensyiratkan adanya pembeda antara ideologi mengacu sebagai wacana dan ideologi mengacu pada keterlibatan kepercayaan di dalam pola-pola kehidupan/eksistensi yang dijalani. Bekaitan dengan debat The End of Ideology, menurut para kritikus Marxisme menyatakan bahwa Marxisme adalah ideology yang menonjol, namun mengalami kemerosotan. Jadi  The End of Ideology mewakili tamatnya Marxisme (sekaligus tamatnya radikal sayap-kanan) sebagai kekuatan politik yang signifikan. (Giddens, 2009: 347-349)  Menurut Giddens, menganalisis aspek-aspek ideologis aturan simbolik, berarti mengkaji bagaimana struktur makna digerakkan untuk mengabsahkan kepentingan golongan dari kelompok dominan. Mengetahui bekerjanya ideologi secara aktual di dalam masyarakat adalah bagaimana mencari pola-pola disembunyikannya dominasi sebagai dominasin (pada level institusional) dan mencari cara-cara kekuasaan dikendalikan untuk menyembunyikan berbagai kepentingan golongan di tingkat perilaku strategis.

 Bentuk-bentuk utama ideologis itu meliputi: (1)  representasi kepentingan golongan sebagai kepentingan universal. Konteks utama kritik ideology dalam politik modern di dalam masyarakat kapitalis, berupa analisis dominasi kelas, yaitu memandang adanya perahasiaan versus penyingkapan dominasi kelas sebagai asal usul proses akumulasi modal. (2) penolakan atau tranmutasi kontradiksi. Salah satu ciri utama ideologi politik yang berfungsi menyamarkan lokasi kontradiksi ini berkaitan dengan pembedaan wilayah urusan “politik” dengan urusan “ekonomi”. (3) naturalisasi masa kini, pengarcaan (reification), dimana kepentingan kelompok dominan erat berkaitan dengan pelestarian status quo melalui menaturalisasikan kondisi yang sudah ada sekaligus menghambat pengakuan akan sifat masyarakat manusia yang dapat berubah dan berciri historis. (Giddens, 2009: 365-368)

Studi Ambardi dengan menunjukkan adanya fenomena migrasi ideologi dan dikesampingkannya ideologi partai, seolah-olah bergerak ke arah pemahaman Giddens tersebut. Jika ideologi menurut Daniel Bell merupakan seperangkat kepercayaan yang diwarnai gairah yang berupaya untuk mengubah seluruh cara hidup, jadi semacam agama sekuler, maka apakah sistem kepartaian Indonesia sedang bergerak menuju ke arah itu? Hal ini masih dapat diperdebatkan, oleh karena sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian di Indonesia akan menjadi kekuatan baik yang bersifat manifest atau pun laten. Jadi pengingkaran ideologis hanya bersifat temporal, oleh karena sejarah kepartaian Indonesia berbeda dengan sejarah kepartaian di negara-negara Barat. Beberapa ilmuwan lain diantaranya C Wright Mills, menyatakan bahwa proklamasi tamatnya ideologi merupakan ideologi itu sendiri. Sehingga menurut Giddens, tamatnya ideologi dimaknai sebagai sesuatu untuk membantu melegitimasi relasi dominasi yang sudah ada. (Giddens, 2009: 372)

Krisis Legitimasi Sistem Kepartaian

Selanjutnya saya akan memberikan timbangan teoritik terhadap studi Ambardi dengan pendekatan teori krisis legitimasi Jurgen Habermas. Secara ilmiah konsep krisis legitimasi ini mengacu pada pandangan Jurgen Habermas (2004) yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme liberal, kapitalisme lanjut, (termasuk demokrasi liberal) mengalami krisis yang mendalam meliputi krisis sistem ekonomi, krisis politik dan krisis sistem sosial-budaya, ketiga krisis tersebut saling terkait yang berakhir dengan krisis legitimasi sebagai bagian penting dari krisis rasionalitas dalam konteks masyarakat tersebut. Tiga perkembangan yang menjadi ciri utama dalam relasi produksi pada kapitalisme-lanjut; (a) bentuk produksi nilai-lebih yang sudah berubah, berdampak pada prinsip-organisasi sosial; (b) struktur upah kuasi-politis, yang mencerminkan kompromi kelas; dan (c) meningkatnya kebutuhan terhadap legitimasi sistem politik yang menggunakan tuntutan-tuntutan berorientasi nilai-guna (tuntutan yang dalam kondisi tertentu bersaing dengan kebutuhan untuk merealisasikan modal). Menurut Habermas, pada akhirnya pelbagai hubungan produksi itu berubah karena penggantian hubungan-hubungan pertukaran dengan kuasa administratif berhubungan dengan kondisi yang didalamnya kekuasaan legitimate harus ada untuk membuat perencanaan administratif. (Habermas, 2004: 201)

Menurut saya sistem kepartaian di Indonesia dalam posisi krisis legitimasi, terkait dengan adanya kartelisasi partai politik yang sesungguhnya tidak mempunyai akar rasional, akar sosial-kultural dan akar politik ideologis yang jelas. Teorema krisis legitimasi Jurgen Habermas berasumsi dari pandangannya bahwa kontradiksi yang terdapat dalam imperative-imperatif pengendalian tidak menegaskan diri melalui tindakan-tindakan rasional bertujuan yang tidak dilakukan partisipan-pasar, melainkan oleh anggota-anggota administratif; ia muncul dalam bentuk kontradiksi-kontradiksi yang langsung mengancam integrasi sistem, karenanya membahayakan integrasi sosial. (Habermas, 2004: 223) Sementara itu krisis ini legitimasi meliputi krisis motivasi, oleh Habermas dikatakab bersumber dari dua pola motivasi yaitu sindrom-sindrom privatisme sipil (civil privatism) dan privatisme kerja yang bersifat kekeluargaan (familiad-vocational privatism). Kedua pola motivasi tersebut sangat mempengaruhi sistem politik dan sistem ekonomi. Pola motivasi privat ini dapat diselaraskan dengan pola-pola kebudayaan yang menampilkan campuran khas antara elemen-elemen tradisi pra-kapitalis dan elemen tradisi bourjuis. Masyarakat kapitalis selalu bergantung pada kondisi batas kebudayaan yang tidak bisa mereka reproduksi sendiri; mereka tak ubahnya seperti parasit yang hidup dari sisa-sisa tradisi. Dalam ranah politik terjadi mentalitas partikularisme dan mentalitas subordinasi. Habermas mengutip Almond dan Verba (The Civic Culture) yang berkehendak menyatukan budaya politik borjuasi dengan budaya politik tradisional dan budaya politik kekeluargaan:

Kalau elit kekkuasaan ingin menjadi begitu kuat dan sanggup membuat keputusan yang otoritatif, maka keterlibatan, aktivitas dan pengaruh masyarakat awam harus dibatasi. Khalayak umum harus menyerahkan kedaulatan kepada para elit dan membiarkan mereka memerintah. Kebutuhan terhadap munculnya elit kekuasaan mensyaratkan bahwa masyarakat awam bersikap pasif, tidak terlibat dan mengambil jarak dari para elit. Karena itulah warga Negara yang demokratis diminta untuk mengejar tujuan-tujuan yang kontradiktif; ia harus ektif sekaligus pasif; terlibat naum tidak terlibat, berpengaruh namun mengambil jarak. (Habermas, 2004: 240).

Kontradiksi dalam Sistem Kepartaian

Akhirnya saya mencoba mereview atas studi Ambardi dengan cara pandangn yang lazim digunakan oleh Marxian yaitu melalui konsep kontradiksi. Menurut saya, kemungkinan adanya kontradiksi-kontradiksi dalam internal partai politik dan proses persaingan ideologis antar partai dan kemudian berbalik menuju kerjasama politik untuk meraih keuntungan ekonomi dan kekuasaan. Kontradiksi merupakan salah satu kajian Marx dan Hegel (Habermas, 2004: 144) dalam sistem ekonomi kapitalis menjadi hal yang sangat penting karena pada akhirnya akan mempengaruhi sistem dan struktur politik. Kontradiksi kekuasaan (Giddens, 2009: 248) menjadi bagian dalam kajian teori strukturasi Giddens. Konsep kontradiksi menurut Giddens haruslah diletakkan dalam konteks hubungannya dengan komponen struktural sistem sosial, tetapi dibedakan dengan setiap bentuk ‘ketidaksesuaian fungsional’. Kontradiksi sosial dalam pengertian Giddens sebagai oposisi atau keterputusan prinsip-prinsip struktural sistem sosial, ketika prinsip-prinsip tersebut bekerja di dalam istilah istilah satu sama lain, namun pada saat yang sama bertentangan satu sama lain. (Giddens, 2009: 267)

Sementara itu dalam pengertian Jurgen Habermas, kontradiksi mendasar dalam sebuah formasi sosial terjadi ketika prinsip organisasi (dalam sistem sosial, sistem politik) meniscayakan individu dan kelompok selalu berhadapan satu sama lain dengan klaim dan intensi yang lama kelamaan menjadi tidak berkesesuaian. (Habermas, 2004: 145) Studi Ambardi tentang sistem kepartaian di Indonesia era reformasi, menurut saya mengabaikan terjadinya kontradiksi-kontradiksi (aktor, sistem dan struktur). Kontradiksi-kontradiksi itu sesungguhnya masih menyimpan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan sistem kepartaian lebih lanjut. Sehingga terbentuknya sistem kepartaian yang bersifat kartelisasi masih mempunyai kesempatan untuk berubah, meski tidak mesti bersifat linier dengan sejarah sistem kepartain di negara-negara Barat. 

Penutup 

Kelebihan dari studi Ambardi adalah kekuatan data dan analisanya dalam membongkar selubung kepentingan partai politik dalam relasi antar partai dan relasi partai dengan kekuasaan. Dari studi itulah kita dapat gambaran bahwa terjadi pengabaian konstituen partai oleh para elit partai. Ambardi juga membongkar topeng selubung ideologi partai dengan baik, dimana partai-partai politik itu sesungguhnya tidak bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan ideologi dan program partai sebagai turunan dari ideologi partai itu. Dalam kaitan inilah saya memberikan timbangan teoritik lain dengan cara pandang teorema Giddens dan Habermas untuk melihat dinamika sistem kepartaian di Indonesia era reformasi. Oleh karena studi Ambardi masih menyimpan upaya universalisasi kajian politik Barat ke dalam studi politik Indonesia bahwa seolah-olah rangkaian kartelisasi politik kepartaian di Indonesia ini adalah bagian dari rangkaian panjang kapitalisme global yang merangsek bangsa Indonesia.

Disinilah menurut saya perlu studi kritis tentang sistem kepartaian dengan melibatkan analisis dinamika dan proses antara aktor dan sistem, aktor dan struktur di dalam internal partai. Menurut saya hal itu karena adanya kealpaan dari studi Ambardi, sehingga kontradiksi-kontradiksi di dalam internal partai dan persaingan ideologis yang masih tetap ada di dalam “alam bawah sadar” para elit dan masyarakat Indonesia. Kesadaran kelas baru (borjuasi dan buruh) sebagai hasil dari proses kapitalisme global di Indonesia untuk menjadi kekuatan politik baru, menurut saya masih perlu mendapat perhatian. Barangkali yang terjadi adalah tersebarnya modal kapitalisme global ke dalam sistem administrasi institusi politik yang sama sekali tidak berdampak kepada masyarakat secara umum, konstituen partai. Satu tahap dari pengingkaran partai terhadap konstituen dan dosa politisasi ideologi partai sebagai bentuk kemunafikan secara telanjang, sekelas dengan politisasi agama. Wallahua’lam. (Ahmad Rofik adalah Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed)

Ada Kartel Harga Semen Indonesia

TEMPO Interaktif, Balikpapan – Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) menemukan dugaan kuat terjadinya praktek kartel dalam penentuan harga semen di Indonesia. Ada kejanggalan harga semen di Indonesia yang biasa terjadi antara bulan November hingga Februari.

“Setiap tahunnya, harga semen bulan November dan Februari selalu naik. Dugaan kuat terjadi kartel harga semen di seluruh kota Indonesia,” kata Komisioner KPPU, Benny Pasaribu di Balikpapan, Kamis (22/4).

Pada empat bulan itu, kata Benny, KPPU selalu mencatat adanya keluhan kelangkaan pasokan semen di seluruh kota/kabupaten Indonesia. Sesuai prinsip ekonomi, katanya harga semen langsung merangkak naik dari ketentuan normal hanya Rp 52 ribu jadi Rp 70 ribu per saknya.

“Setiap tahun selalu begitu, alasan produsen semen juga tidak masuk akal dan sulit dipercaya,” paparnya.

Benny menduga di bulan-bulan itu terjadi praktek artel diantara para produsen semen di Indonesia. Sebabnya, katanya saat itu terjadi peningkatan permintaan semen untuk pembangunan proyek proyek pemerintahan.

“Saat itu kan pemerintah memacu pembangunan untuk mengejar target akhir tahun anggaran. Ada dugaan produsen kemudian bersepakat untuk menaikan harga semennya,” paparnya.

Disamping itu, Benny juga mempertanyakan harga semen per saknya yang rata rata dipatok hingga kisaran harga Rp 55 ribu. Dia membandingkan dengan turun naiknya harga batu baru dan minyak mentah dunia di pasaran internasional.

“Harga batu bara dan minyak mentah dunia turun naik sehingga berdampak pada cost produksi semen. Tapi anehnya sejak 2007 lalu semen naik dari Rp 35 ribu jadi Rp 55 ribu. Harga ini terus bertahan hingga sekarang tanpa sekalipun turun,” ungkapnya.

KPPU, kata Benny sedang menginvestigasi distribusi semen di beberapa kota di Indonesia diantaranya Balikpapan, Makassar dan Surabaya. Hasil sementara penyelidikan, katanya KPPU merekomendasikan untuk dilakukannya tahap lanjutan penanganan kasus dugaan kartel semen Indonesia.

Benny menargetkan tiga bulan kedepan sudah terkumpul data data lengkap untuk dilakukannya persidangan Majelis KPPU. Data data kelangkaan semen, menurutnya akan dilengkapi dengan analisa ekonomi, grafik statistic dan perhitungan ekonomi perihal dugaan kartel penetapan harga semen Indonesia.

Kartel Pangan dan Kegagalan Negara

Fenomena kartel ekonomi pangan di Indonesia sebenarnya telah ditengarai sejak lama, dengan struktur pasar, tingkah laku dan praktik yang beragam.  Sebagian besar kartel pangan sudah bersifat amat struktural sehingga penyelesaiannya tidak akan pernah cukup jika hanya sekadar pidato, pernyataan dan himbauan pejabat. Sebagian lagi, kartel pangan sudah bersifat turun-temurun dari generasi tua pada Era Orde Baru kepada generasi muda yang muncul pada Era Reformasi. Beberapa pelaku baru memang mampu menerobos barriers to entry yang sengaja diciptakan oleh para kartel ekonomi pangan, tentunya setelah mengalami proses jatuh-bangun yang tidak sederhana. Setelah terbukti mampu bertahan dan bahkan berkembang, pendatang baru itu seakan  disambut dengan ungkapan “Welcome to the Club” dan proses gurita bisnis ekonomi pangan selanjutnya akan berevolusi mengikuti sistem ekonomi-politik di Indonesia.

Berita dan analisis yang beredar di media massa tentang kartel pangan sepanjang minggu lalu (Investor Daily 23 dan 25 Januari 2013), sebagai follow-up dari Laporan Komite Ekonomi Nasional (KEN) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampak terlalu kusut untuk mampu diurai satu-per satu. Apalagi juga ditengarai bahwa sebagian besar kartel ekonomi pangan ini terafilisasi dengan raksasa bisnis global yang selalu menganggap Indonesia sebagai pasar besar yang menggiurkan. Potensi keuntungan kartel ekonomi pangan sampai belasan atau puluhan triliun rupiah tentu menarik bagi  siapa pun yang hanya berniat mengerek keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pada hampir setiap jengkal kegiatan ekonomi pangan, peluang terjadinya fenomena kartel atau tepatnya persaingan usaha tidak sehat selalu muncul. Selain karena kecenderungan perburuan rente di kalangan pelaku ekonomi yang tumbuh subur, fenomena kartel juga muncul karena lemahnya struktur penegakan aturan main, lemahnya pengawasan dan buruknya kualitas kebijakan ekonomi secara umum.  Walau masyarakat dan Pemerintah sudah paham bahwa kartel ekonomi pangan merupakan salah satu bentuk dari praktik persaingan usaha tidak sehat dan membawa biaya sosial-ekonomi yang tidak sedikit, upaya mengatasi dan mengurangi fenomena kartel ini tidaklah mudah.

Pendekatan legal formal yang ditempuh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan pengadilan niaga di Indonesia tentu tidak akan cukup untuk menanggulangi persoalan struktural dan menggurita tersebut. Apalagi, jika pada banyak kasus lembaga negara tersebut justeru menjadi pihak yang kalah di tingkat pengadilan. Jika pun lembaga negara memenangi proses pengadilan dan menjatuhkan sanksi nominal berupa denda dan sanksi pencabutan izin usaha sekalipun, dampak distortif yang terlanjur ditanggung oleh perekonomian telah demikian besar. Sanksi hukum itu terkadang terkesan hambar karena proses pengadilan yang bertele-tele dan melelahkan, sementara persoalan di lapangan telah bermetamorfosis menjadi persoalan lain yang lebih kompleks.

Pemerintah perlu secara cerdas mencari solusi kebijakan yang lebih bersifat struktural, mulai dari sektor produksi di hulu, sektor distribusi dan perdagangan di tengah, sampai pada sektor konsumsi di hilir. Solusi kebijakan ini wajib dilakukan oleh segenap instansi pemerintah yang terlibat dengan ekonomi pangan, baki secara langsung, maupun secara tidak langsung. Beberapa solusi kebijakan ini akan diuraikan pada akhir tulisan, setelah penjelasan tentang penyebab atau hakikat kartel ekonomi pangan ini.
****
Dua bentuk ekstrem struktur pasar ekonomi pangan yang dapat terlihat dan terasakan langsung oleh masyarakat adalah struktur monopsoni plus variannya berupa oligopsoni dan struktur monopoli plus variannya berupa oligopoli. Struktur ekonomi pangan disebut monopsoni adalah apabila pembeli komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur pasar pangan disebut monopoli apabila penjual komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa penjual (ologopoli) besekongkol mengatur harga jual komoditas pangan.

Dalam ilmu ekonomi, struktur pasar yang mendekati atau mengarah pada dua bentuk ekstrem monopsoni/oligopsoni dan monopoli/oligopli seperti itu dikatakan telah mengalami kegagalan pasar (market failures). Istilah kegagalan pasar ini sering disandingkan dengan istilah kegagalan negara (state failures) yang merujuk pada ketidakmampuan negara dalam melaksanakan tugas eksekusi program sampai pada menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri. Kasus inefisiensi birokrasi, penyalahgunaan wewenang eksekutif, legislatif, dan yuidikatif, non-governansi pemerintahaan atau lembaga non-struktural kementerian adalah beberapa contoh kecil dari kegagalan negara.

Dalam literatur ekonomi pangan, terdapat banyak kelompok komoditas pangan yang sering menderita monopsoni/ oligopsoni dan juga terdapat kelompok komoditas yang menderita monopoli/oligopoli. Apa pun bentuk dan struktur pasarnya, petani dan masyarakat banyak akan selalu dirugikan karena tidak kuasa menembus tembok-tembok struktur pasar pangan tidak sehat atau kartel pangan ini. Sejak di tingkat usahatani di hulu, petani sudah berhadapan dengan para tengkulak atau dengan istilah lokal pengijon, pengagep, dan lain-lain, yang terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk pangan. Kriteria yang ditetapkan serba tidak jelas, tidak transparan dan tidak adil karena petani tidak memiliki alternatif pasar yang lebih sehat. Kriteria kadar air, kadar patah, butir hijau, rendemen, dan lain-lain seperti yang diberlakukan pada gabah, beras, jagung, tebu, kopi, kakao, dan lain-lain lebih sering hanya searah. Posisi dan daya tawar hampir selalu dimenangi para tengkulak karena penguasaan informasi pasar juga berbeda.

Kondisi menjadi lebih rumit ketika secara sosiologi-psikologi para tengkulak juga memberi pinjaman modal kerja, benh, pupuk, pengolahan lahan dan sebagainya. Benar, bahwa satu-dua kasus tengkulak “baik hati” yang dapat dijadikan tumpuan harapan bagi ekonomi rumah tangga petani dan dinamika ekonomi pedesaan di beberapa tempat. Akan tetapi, secara umum sistem tataniaga komoditas pangan tidak efisien karena manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh mereka yang mengeluarkan jasa sedikit, tapi dengan proporsi keuntungan yang amat besar.

Dari perspektif perdagangan, komoditas pangan strategis sering menjadi lahan spekulasi bagi para pelaku monopoli/oligopoli, terutama jika sifat fluktuasi harga pangan demikian tinggi dan berpotensi menghasilkan rente ekonomi dan keuntungan besar.  Pada komoditas pangan asal impor, para pelaku kartel ini cenderung agak leluasa “mengatur” harga jual di dalam negeri, apalagi jika kinerja produksi pangan di dalam negeri bermasalah. Masih segar dari ingatan masyarakat kejadian yang menimpa kedelai, gula, dan daging sapi, bahwa sebagian besar konsumen seakan menjadi penonton di tengah persaingan tidak sehat yang terjadi. Faktor ketidakberdayaan negara dalam menghadapi lobi dan serbuan produk impor plus kemampuan menegakkan kebijakan stabilisasi harga pangan, maka lengkaplah sudah dampak buruk dari kartel ekonomi pangan ini bagi kesejahteraan masyarakat.
****
Indonesia yang mengkalim diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state) tentu wajib segera mengatasi fenomena kartel pangan atau setidaknya menyembuhkan penyakit kegagalan pasar pada beberapa komoditas pangan strategis tersebut di atas. Jika kegagalan pasar ini dibiarkan terlalu lama, maka biaya sosial-ekonomi dan politik yang harus ditanggung masyarakat pasti lebih besar dan menimbulkan inefisiensi yang semakin akut. 

Pertama, tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usahatani dan tataniaga komoditas pangan di hulu. Kinerja produksi pangan yang baik akan mengurangi dampak buruk dari sistem perdagangan tidak efisien, sampai batas tertentu. Perbaikan infrastruktur keras seperti jalan, jembatan, saluran irigasi perlu dilihat sebagai fixed variables untuk menunjang produksi pangan. Pembenahan sistem informasi harga, informasi pasar dan teknologi baru akan mengurangi inefisiensi sistem perdagangan atau tataniaga komoditas pangan di tingkat lapangan. Seluruh brokrasi pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan target besar swasembada produksi pangan dan efisiensi perdagangan ini. 

Kedua, pembenahan administrasi perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Terlalu miris untuk mendengar fakta bahwa birokrasi pemerintah tidak mengetahui jumlah gudang pangan atau tidak memiliki data tanda daftar gudang (TDG) dari pelaku usaha pangan. Setelah informasi gudang pangan dapat dikuasai, tentu arus pergerakan barang dari satu titik ke titik lain akan dengan mudah diestimasi, berikut fluktuasi harga yang terjadi. Administrasi data ini adalah cikal-bakal pencegahan praktik persaingan usaha tidak sehat, bahkan sampai pada penimbunan dan spekulasi harga yang menimbulkan dampak distortif. 

Ketiga, peningkatan wibawa dan kapasitas lembaga pengawas persaingan usaha. Langkah ini dimulai dari awareness di tingkat dasar dan perbaikan pendidikan atau pemahaman tentang fenomena kartel dan kegagalan pasar ini. Apabila terdapat beberapa hambatan dalam penerapan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka KPPU, Pemerintah dan Parlemen tidak harus merasa tabu untuk memperbaiki aransemen kelembagaan yang paling strategis tersebut.

Politik Kartel di Indonesia

Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat.

Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Dodi Ambardi berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Namun kartel dalam politik berbeda dengan kartel dalam ekonomi. Dan Slater menjelaskan, Dalam ilmu ekonomi, kartel berbeda dari pasar bahwa mereka akan menghancurkan pesaing dan mencekik pendatang baru yang potensial di pasar. Dalam politik, kartel berbeda dengan koalisi bahwa mereka mengkooptasi semua partai politik besar ke dalam sebuah aliansi nasional yang luas, dan meminggirkan partai-partai kecil yang berada diluar dalam prosesnya. Walaupun ini merupakan bentuk ideal untuk mencapai stabilitas, namun hal tersebut akan menjadi sebuah masalah dalam representatif.

Dodi Ambardi menjelaskan bahwa kartel ini dilakukan oleh partai politik demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik ini ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan partai yang dimaksud oleh Ambardi ini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente. Tindakan ini hanya dapat dimungkinkan bila partai politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.

Penelitian dari Katz dan Mair tentang partai kartel di Eropa juga dapat menjadi sebuah contoh yang relevan bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.  Mereka dapat menjelaskan dengan baik alasan mengapa partai politik menggunakan cara kartel. Sudah jelas dalam sistem demokrasi bahwa ada sebagian partai yang akan masuk dalam pemerintahan, sedangkan yang lainnya akan terlempar ke luar. Ada partai yang takut akan terlempar dari jabatannya akibat berubahnya suara pemilih. Namun dalam model politik kartel, tidak akan ada partai besar yang terlempar dari kekuasaan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak jelas antara partai politik di pemerintahan dan partai politik yang menjadi oposan.

Jabatan Kabinet yang seharusnya menjadi pembantu presiden dalam menjalankan fungsi dalam memeberikan saran, membuat kebijakan dan mengeksekusi perintah dari Presiden, dapat dimanfaatkan oleh partai politik sebagai sumber finansial bagi partai politik. Tawar menawar antara partai politik dan Presiden terjadi untuk menempatkan calon dari partai politik di jabatan Menteri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertimbangan determinan pencalonan seorang Menteri dari partai politik berdasarkan seberapa “basah” dalam posisi kementerian tersebut. Sektor-sektor Kementerian yang “basah” seperti Kementerian Keuangan, Energi, Industri, Transportasi, dan BUMN  menjadi tempat potensial bagi partai politik untuk menempatkan calonnya. Bahkan Kementerian yang terlihat “kering” seperti Kementerian Agama, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi partai politik, tentunya dengan sedikit permainan muslihat. Dalam kasus Kementerian Agama, sumber pendapatan bisa berasal dari mandat penyimpanan dana haji.

Selain keuntungan bagi partai, posisi jabatan Menteri juga dirasakan oleh personal Menteri tersebut. Seorang Menteri juga akan menerima fasilitas yang mewah guna menjalankan fungsinya sebagai pembantu Presiden. Fasilitas-fasilitas sebagai seorang Menteri seperti mendapatkan mobil dinas yang mewah, kantor yang besar, gaji yang tinggi, dan kesempatan untuk mengangkat staf pribadi lebih banyak. Selain hal materi, seorang Menteri yang duduk dalam kabinet akan mendapatkan prestise yang tinggi dan otoritas membuat kebijakan.

Untuk merubah kartel politik yang telah terjadi di negara ini sangatlah sulit. Demokrasi yang berdasarkan atas persaingan yang kompetitif untuk terciptanya pemerintahan yang optimal dengan sistem check and balances, justru terjadi kartel yang dilakukan oleh partai politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka dipemerintahan. Untuk merubah semua ini dibutuhkan tindakan kolektif yang melibatkan banyak partai, seperti terciptanya politik kartel yang membutuhkan tindakan kolektif juga.

Pengusaha Berani Lakukan Kartel karena Denda Cuma Rp 25 Miliar

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai banyak perusahaan atau pengusaha di Indonesia berani melakukan kartel. Saat ini hukuman denda praktik kartel maksimal Rp 25 miliar, sementara keuntungan yang diperoleh pengusaha triliunan rupiah.

Ketua KPPU Tajuddin Noer Said mengatakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seharusnya segera dirubah.

"Karena, jika ada perbuatan Kartel didalamnya itu perusahaan hanya didenda paling besar Rp 25 miliar, sudah pembuktiannya sulit dendanya terbilang kecil," kata Tajuddin di Kantor KPPU, Jl Veteran, Senin (30/7/2012).

Dikatakan Tajuddin, hukuman denda maksimal Rp 25 miliar ini bisa tidak sebanding jika dengan keuntungan yang didapat perusahaan apabila melakukan kartel.

"Dia melakukan kartel untungnya bisa triliunan rupiah, dengan denda melakukan kartel hanya Rp 25 miliar ya kecil bagi mereka," katanya.

Tajuddin berujar, yang paling ditakutkannya adalah banyak perusahaan asing yang masuk ke Indonesia yang berskala besar dan bermodal besar, hukuman denda ini dimasukkan dalam salah satu biaya operasional.

"Bayangkan jika perusahaan asing yang besar dengan modal besar masuk ke Indonesia dan memasukkan denda Rp 25 miliar tersebut ke salah satu biaya operasional mereka, jadi kapan pun mereka lakukan kartel jadi tidak masalah," tuturnya.

Kalau sudah itu terjadi, kata Tadjuddin, maka yang menanggung kerugian adalah rakyat Indonesia. "Kalau dibiarkan ini bahaya, rakyat Indonesia yang menjadi korbannya, jadi kami mengusulkan agar UU ini diubah," tandasnya.

Parameter dan Kasus-Kasus Pelanggaran Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menuntaskan penyusunan draf pedoman pelarangan kartel. Pedoman ini bertujuan untuk mewaspadai potensi terbentuknya perilaku kartel. Namun demikian, draft pedoman tentang pelarangan kartel yang rencananya akan disahkan oleh KPPU pada sekitar bulan April, mengalami pengunduran hingga saat ini. Hal tersebut memunculkan pertanyaan, sebenarnya hal apa saja yang menjadi alasan diundurnya pemberlakuan pedoman tersebut? Padahal sejauh ini telah terdapat berbagai kasus mengenai kartel seperti kartel sms, kartel fuel surcharge, kartel garam, kartel semen dan kartel minyak goreng. 

Pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar. Peraturan tentang kartel tersebar dalam berbagai pasal di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), seperti pasal 5 tentang kartel harga (price fixing), pasal 9 tentang kartel wilayah dan Pasal 11 tentang kartel produksi dan pemasaran. Menurut pasal 35 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 16 maka KPPU akan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut maka jika pelaku usaha terindikasi melakukan kartel maka yang harus dinilai oleh KPPU adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel. Masalahnya, pembuktian dengan menggunakan perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan. Oleh karena itulah pembuktian kartel berkembang menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti secara tidak langsung dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan tool-tools ekonomi yang memang secara ilmiah diakui dan bisa menunjukkan korelasi antara satu fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.
 
Selain itu, kartel seringkali berjalan simultan dengan pelanggaran lain yang berpotensi berseberangan dengan aturan dalam UU No. 5/1999. Yakni, Pasal 5 (penetapan harga)¸ Pasal 9 (pembagian pasar), Pasal 10 (pemboikotan), Pasal 12 (trust), Pasal 22 (persekongkolan tender), Pasal 24 (persekongkolan menghambat produksi dan atau pemasaran).  Nah, menurut pasal 35 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melakukan pelanggaran pasal 17 sampai dengan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai kegiatan terlarang maka KPPU akan melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Jadi, yang dinilai oleh KPPU dalam hal ini adalah tindakan atau perilaku pelaku usaha yang bersangkutan. Lantas timbul pertanyaan. Jika perilaku pelaku usaha telah memenuhi ketentuan pasal-pasal tersebut, apakah pelaku usaha yang bersangkutan dapat diindikasikan kartel walaupun tidak terdapat perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999? Apa parameter yang digunakan KPPU untuk menilai perilaku pelaku usaha yang dapat diindikasikan kartel? 
 
Memang, dalam draft pedoman kartel dapat ditemukan ketentuan mengenai indikator awal terjadinya kartel yakni melalui faktor struktural dan faktor perilaku. Faktor struktural antara lain tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan, ukuran perusahaan, homogenitas produk, kontak multi pasar, persediaan dan kapasitas produksi, keterkaitan kepemilikan, kemudahan masuk pasar, karakter permintaan dan kekuatan tawar pembeli. Sedangkan faktor perilaku, antara lain transparansi dan pertukaran informasi serta peraturan harga dan kontak. Namun permasalahannya, parameter atau ukuran yang jelas mengenai indikator awal tersebut tidak juga ditemukan dalam draft pedoman kartel. Inilah yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha. Berbagai macam penafsiran mengenai indikator awal akan timbul, dan hanya KPPU–lah yang dapat menilai apakah tindakan atau perilaku pelaku usaha tersebut telah terindikasi kartel.

Lebih lanjut, salah satu faktor terjadinya kartel adalah melalui asosiasi pengusaha yang merupakan pertemuan rutin antara para pengusaha. Biasanya setiap sector usaha memiliki asosiasi masing-masing. “Paguyuban” tersebut bertujuan sebagai wadah pertemuan antara para pengusaha yang saling berbagi pengalaman. Nah, apakah rapat atau pertemuan dalam rangka berbagi pengalaman tersebut dapat diindikasikan sebagai kartel?

Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, pengaturan kartel oleh KPPU bertujuan untuk menjamin hak berkompetisi sehat bagi pelaku usaha dan peluang kesejahteraan konsumen. Kita pun sebagai konsumen telah menikmati keuntungan dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh KPPU. Misalnya dalam kasus kartel SMS, konsumen akhirnya dapat merasakan harga SMS yang ditawarkan para pelaku telekomunikasi selular yang kompetitif. Sebagai informasi, dalam penanganan kartel di beberapa negara, kartel telah berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif yang sudah pasti terjadi oleh karena adanya suatu tindakan. Bahkan, di beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal karena dianggap merugikan masyarakat. Namun memang di Indonesia, kartel masih bersifat rule of reason.

Praktik Kartel Bakal Gagalkan Swasembada Daging

Permainan kartel pada pengelolaan daging sapi impor akan kembali menggagalkan swasembada daging di 2014. Hal ini berkaitan pula dengan adanya penumpukan daging sapi di Australia yang siap masuk ke Indonesia. “Swasembada daging di 2014 akan gagal lagi. Kita tidak akan bisa mencapai swasembada kalau gelontoran daging impor yang kencang dimainkan oleh importir,” kata Ketua Umum DPP Himpunan Peternak Indonesia (HPI), Rudy Prayitno di Gedung DPR Jakarta, Kamis (7/2).Pada dasarnya, kata Rudy, ketersediaan daging di Indonesia masih memadai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. “Kalau pun kita kekurangan daging sapi, bisa saja beralih ke ikan, unggas atau pun domba. Jadi, jangan menjadi alasan bagi pemerintah untuk memaksakan daging sapi masuk ke Indonesia,” paparnya.

Menurut Rudy, derasnya aliran impor daging sapi ke Indonesia tidak terlepas dari besarnya jumlah sapi potong dengan bobot di atas 3,5 kwintal di Australia. Karena tingginya permintaan dari importir Indonesia, jelas dia, peternak di Australia memotong sapi untuk di ekspor. “Padahal persyaratan di Indonesia, sapi impor hanya boleh masuk dengan bobot di bawah 3,5 kwintal,” ucap Rudy.

Rudy menegaskan, sejauh ini Indonesia masuk ke dalam target ekspor Australia dengan kuota terbesar. “Sementara, kuota impor kita di sini dimainkan oleh importir,” kata Rudy usai diusir dari ruang rapat Komisi IV DPR karena dinilai tidak beretika dalam penyampaian masukannya dengan menyebut anggota Dewan dengan sapaan “saudara” yang dibarengi intonasi lantang.

Lebih lanjut Rudy menjelaskan, bakal gagalnya swasembada daging juga diakibatkan oleh tidak berjalannya program penundaan pemotongan sapi produktif. “Sapi-sapi produktif tidak boleh dipotong. Sebagai penggantinya, setiap ekor sapi pemerintah memberikan stimulan dana kepada pemilik sebesar Rp800.000. Ini merupakan salah satu program untuk mencapai swasembada,” terangnya.

Namun demikian, jelas dia, tingginya jumlah impor yang juga dipermainkan oleh importir, pada akhirnya memaksa para peternak untuk memotong sapi produktif. “Sekarang ini, ada bisnis sapi yang menggiurkan. Harga daging sapi sedang mahal. Peternak memilih untuk memotong sapi produktif agar mendaptkan keuntungan lebih,” katanya.

Sementara itu ditempat yang sama, Asosiasi Pengusaha Daging dan Sapi Potong Indonesia (Apdasi) berharap bisa mendapatkan 10 persen dari kuota impor sebesar 8.000 ton. Permintaan ini tidak terlepas dari keinginan asosiasi untuk menekan harga jual daging sapi di pasar.

“Kami meminta 10 persen dari 40 persen kuota impor daging beku. Jadi diharapkan importir besar hanya bisa mendapatkan 30 persen kuota impor. Kalau ini bisa bejalan, kenaikan harga daging sapi bisa ditekan,” kata Ketua Umum Apdasi, Dadang Iskandar.

Menurut Dadang, sepanjang 2013 pemerintah telah menetapkan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 ton. Sebesar 40 persen merupakan kuota untuk daging beku dan selebihnya berupa sapi hidup. “Kami minta segera dilaksanakan impor sapi trading untuk normalisasi harga sapi potong,” tegasnya.

Terkait dengan tata kelola daging di pasaran, Dadang mengatakan, dalam satu hari tercatat ada 1.300 ekor sapi per hari yang masuk. Namun, lanjut dia, berdasarkan pemantauan Apdasi, sapi-sapi tersebut tidak masuk ke rumah pemotongan hewan (RPH). “Ini yang menyebabkan harga daging naik, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan daging. Sudah ada kecurangan dalam pendistribusiannya,” ucapnya.

Dadang menjamin, pemberlakuan impor sapi trading dengan Apdasi mendapatkan kuota impor daging beku sebanyak 10 persen, maka harga daging sapi bisa kembali berada di angka Rp70.000 per kilogram. “Selain itu, kami juga meminta agar pemerintah mencabut kebijakan pembelian sapi lokal sebesar 10 persen oleh pengusaha besar. Ini kebijakan yang keliru,” tegas Dadang.

Dia menjelaskan, kewajiban bagi pengusaha besar untuk membeli 10 persen daging sapi lokal justru menguntungkan bagi mereka. “Bahkan, mereka juga mau membeli 100 persen daging sapi lokal. Pedagang kecil akan semakin kesulitan untuk mendapatkan daging,” ucap Dadang.

Demi Untung, Kartel Pangan Permainkan Panen dan Regulasi

LENSAINDONESIA.COM: Logika perdagangan bebas, impor pangan, dijadikan sebagai alasan untuk menurunkan harga pangan di dalam negeri agar terjangkau.

Namun faktanya tidak terjadi, harga pangan di dalam negeri adalah yang tertinggi di dunia. Rakyat yang sudah miskin, dimana 110 juta diantaranya hanya berpendapatan dibawah Rp 12 ribu/hari semakin sengsara.

Harga beras di Indonesia tertinggi di dunia. Harga daging mencapai Rp. 90.000 adalah yang tertinggi di dunia. Demikian juga dengan harga kedelai, susu dan komoditas lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta, Salamuddin Daeng menyebut sejumlah modus. Diantaranya, pada saat panen petani berlangsung, penguasa mendorong impor, menghancurkan harga.

“Lalu para spekulan menyimpan stok di gudang pangan mereka. Pada saat musim paceklik, harga pangan dinaikkan, sehingga kartel mengambil untung sangat besar,” ungkap Daeng di Jakarta, Minggu (10/02/13).

Menurutnya, harga pangan tinggi menjadi dasar setoran kartel kepada pejabat pemerintah dan DPR. Ruang abu-abu dalam peraturan impor, seperti lisensi dan kuota impor dijadikan alat mengambil untung secara simbiosis mutualisme dengan kartel pangan.

Pemerintah dan DPR korup dituding Daeng sebagai dalang dibalik kartel pangan. DPR memainkan peran memuluskan kartel memperoleh kuota, ijin impor dan spekulasi harga pangan. Kartel inilah yang menjadi sebab mahalnya harga pangan di tingkat konsumen.

“Perdagangan bebas dan kartel menghasilkan dua hal, hancurnya harga produk pertanian petani yang menyebabkan petani bertambah miskin dan naiknya harga produk pertanian, pangan di tingkat konsumen,” tandas Daeng.

Dengan Cara Apa Melawan Politik Kartel

Merebaknya berbagai kasus korupsi besar di Indonesia  ditenggarai melibatkan partai-partai besar di negeri ini. Ketidakmampuan partai menggalang dana dari publik mendorong hampir semua partai di Indonesia mencari sumber pendanaan dengan jalur ilegal. Maka menjamurlah praktek politik kartel sebagaimana yang dimaksud dalam bagian pertama tulisan ini. "Semua partai melakukan politik kartel," ujar Eva Kusuma Sundari, politisi dari PDI-P dalam diskusi mengenang satu tahun wafatnya Asmara Nababan, akhir Oktober lalu. Keinginan untuk mengakhiri praktek-praktek buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi semacam ini menjadi kegelisahan bersama sebagian peserta diskusi dan juga para pembicara.

Akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dodi Ambardi menyodorkan beberapa pendapat yang bisa diterapkan dalam menghentikan aktivitas yang serupa perampokan dana publik yang dilakukan secara bergerombol dan melibatkan mesin-mesin politik besar ini. Menurutnya, gagasan memperbesar anggaran pemerintah untuk partai politik bisa mencegah membesarnya praktek politik kartel ini. Meski mendapat sanggahan dari beberapa peserta diskusi yang tidak setuju dengan gagasan ini, akademisi ini tetap yakin bahwa laju gerak kartel-kartel politik tidak bisa dihentikan dengan sekedar himbauan moral. Selain itu upaya membuat biaya pemilu agar lebih murah patut didukung untuk me-rem keinginan partai dalam untuk mendatangkan uang sebesar-besarnya untuk keperluan kampanye dalam pemilu. Ide lain yang harus dicoba adalah mulai pentingnya mencari aktor-aktor yang bisa mengimbangi dominasi partai dan harus memiliki intimidatif efek yang kuat, sebagai contoh ide membuka lebar-lebar calon independen dalam pemilu dan pilkada.

Dari sudut pandang politisi seperti Eva Kusuma Sundari melihat salah satu sumber penyebab munculnya praktek kartel politik adalah sistem pemilu yang justru memunculkan siklus dimana hanya politisi yang memiliki uang yang dimungkinkan untuk menang. Dalam sistem pemilu tahun 2009, diantara politisi dalam satu partai yang sama saling baku hamtam untuk bisa menang dalam pemilihan legislatif. Politisi tak hanya menghadapi politisi dari partai lain, namun juga rekan sejawatnya bisa memangkas perolehan suara dengan "souvenir" dimana para politisi mendatangi basisnya dengan membawa souvenir berupa uang. Yang menang adalah yang membawa souvenir paling besar. Sistem pemilu yang demikian mempengaruhi partai partai politik menerapkan rekruitment anggota hingga pemilihan elit-elit partai menggunakan pola yang serupa yaitu siapa yang mampu mendatangkan uang besar untuk partai, dialah yang akan dipilih. Hal seperti ini melumpuhkan peran-peran partai sebagai agen yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mandat tersebut tidak jalan karena politisi harus bertugas mendatangkan uang agar posisinya aman dalam partai. Sistem pemilu yang demikian ini harus diperbaiki. Perbaikan undang-undang pemilu menjadi relevan dalam hal ini.  Gagasan Lain dari politisi ini adalah ide untuk menghargai perolehan suara dengan rupiah dari anggaran pemerintah kepada partai politik.

Hal penting lain yang diusulkan Eva adalah perlunya mekanisme evaluasi partai politik. Para politisi harus dievaluasi berdasarkan kinerja secara rasional. Hal demikian akan mengikis feodalisme yang mengakar dalam partai politik. Selain itu Eva juga menjelaskan bahwa menguatnya  berbagai praktek buruk pada partai politik juga disebabkan oleh tidak siapnya masyarakat dalam memahami demokrasi. Sebagai indikasi pemenang mayoritas yang dipilih dalam pemilu tak selalu politisi yang baik.

Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma mengatakan bahwa sumber praktek politik kartel yang pada dasarnya merupakan praktek politik oligarki adalah partai politik. Bagaimana mengatasinya?  Pertama, reformasi partai adalah pekerjaan yang besar karena ketertutupan di partai sungguh luar biasa. Contohnya adanya inner dan outer circle dalam partai yang merupakan penyakit sesungguhnya dari sistem kepartaian yang akan masuk dalam sistem parlemen melalui kontrol yg dilakuan dewan pengurus pusat (DPP) sebuah partai politik  terhadap fraksi dan anggota. Jika ada politisi di parlemen yang tidak berkenan di hati DPP maka akan dilakukan penggantian antar waktu (PAW). Kedua, sebagaimana sedang diupayakan oleh KEMITRAAN (Partnership-red) yaitu membagi pemilu dalam dua kali pelaksanaan yaitu pelaksanaan pemilu nasional di dua tahun pertama dan pelaksanaan pemilu lokal di dua tahun berikutnya. Sistem demikian sebetulnya bisa mencegah kongkalikong antar orang pusat dan daerah. Tapi konsep ini tidak akan lolos begitu saja karena partai politik dan parlemen tidak ingin dikontrol. Ide ini akan makin sulit dilakuan dan hanya bisa  dilakukan jika partai dibubarkan. Tidak ada cara apaun untuk pecahkan oligarkhi. Ketiga, oligarkhi terlibat dalam kapital, oleh karena itu kasus-kasus besar tidak akan selesai karena saling menutupi.

Memahami Makna Politik Kartel

Mendiang Asmara Nababan dikenang sebagai sosok yang kuat upayanya dalam mempelajari berbagai hal, termasuk hal yang sama sekali baru. Melihat berbagai kasus faktual saat hampir semua partai ditengarai memiliki komplotan yang terjangkiti penyakit korupsi beraneka ragam bentuk membuat kita makin bertanya-tanya. Gejala apakah ini? Bagaimana memaknai fakta yang ada? Maka dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya Asmara Nababan, Demos mengajak kita untuk  menghidupkan spirit belajar seperti yang dimiliki Asmara Nababan dengan makin mencari jawaban atas pertanyaan apa yang terjadi sekarang ini merupakan praktek politik kartel? Dan apa makna sesungguhnya dari politik kartel? ? Bagaimana melawannya? Dalam diskusi bertema “Melawan Politik Kartel”, Demos menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Dodi Ambardi (Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada - UGM), Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Majalah Prisma), Eva Kusuma Sundari (Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan – PDI-P) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Di kesempatan pertama, Dodi Ambardi menjelaskan bahwa saat ini konsepsi tentang makna kartel sudah berkembang demikian luas. Banyak sekali ahli mengajukan definisi yang berbeda-beda. Akibat luasnya pengertian tersebut maka kita tak lagi bisa menunjukan distingsinya. Jika kita tak lagi bisa mengenali batas-batasnya maka kita tak bisa lagi mengkaji serta tidak tahu implikasinya sehingga pengertian tersebut menjadi tak berguna dan kita tak bisa melawannya. Menurut Dodi Ambardi dalam makalahnya, konsep kartel pertama kali dikenalkan oleh Daniel Katz dan Peter Mair tahun 1995 dimana pada masa tersebut mulai bermunculan partai-partai baru yang bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok. Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodir dalam politik elektoral seperti kelas buruh. Partai massa berkembang dari sisi masyarakat dan partai ini menjadi lembaga penengah yang menjadi kanal kepentingan kelompok buruh. Sumber kehidupan partai ini berasal dari anggota baik secara finansial maupun dukungan kampanye. Namun ketika negara sudah mulai membuat regulasi yang membuat mereka mulai sejahtera, anggota partai ini mulai kehilangan militansinya. Partai massa mulai kehilangan anggota dan sumber pendanaan mereka. Partai mulai mencari sumber pendanaan baru dari negara. Hal ini terjadi di negara-negara Skandinavia dan menjalar ke Eropa Barat dimana negara memberikan subsidi pada partai politik. Akhirnya jarak partai dan masyarakat menjauh. Partai tak lagi menjadi milik dan bagian masyarakat namun menjadi bagian dari negara.

Partai-partai massa akhirnya tampak bermetofora dan makin menguat ciri-ciri sebagai kartel politik pada dirinya. Tidak ada lagi perdebatan ideologi diantara partai-partai tersebut karena partai-partai makin akur akibat persamaan kepentingan untuk mendapatkan sumber pendanan. Dalam hal ini Eva Kusuma Sundari juga menyebutkan hal yang hampir sama mengenai ciri-ciri kartel politik yaitu: pertama, menghilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi antar partai. Kedua, sikap permisif dalam pembentukan koalisi. Ketiga, tiadanya oposisi yang benar-benar melakukan kritik terhadap pemerintah. Keempat, pemilu tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai. Kelima, kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Di Indonesia menguatnya politik kartel terjadi pada pasca reformasi. Setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto, hanya partai politik saja yang tidak terjangkiti gejala reformasi. Partai politik tetap memiliki ketertutupan yang luar biasa kuat.

Sementara itu Daniel Dhakidae memiliki penekanan yang berbeda dalam membahas kartel politik ini. Menurutnya "kartel" adalah istilah yang sangat formal dan dikenal dalam konsep ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam  masyarakat kapitalis. Telah terjadi transmutasi istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik.  Sebenarnya oligarkhi merupakan tempat asal muasal kartel dalam konsep politik. Konsep mengenai oligarkhi ini telah berumur seratus tahun lebih dan memiliki ruang yang lebih besar dan luas dari pada kartel. Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan kecenderungan  hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara. Sekitar tahun 1998 Indonesia dihadapkan pada situasi krisis besar dimana terdapat situasi dimana Pancasila tak berharga. Pengertian rakyat berharga hanya sekedar teori. Yang sesungguhnya terjadi tak ada kehidupan politik di luar partai politik. Ada kekeliruan besar yang terjadi dalam proses pasca 1998 dimana perubahan perbaikan demokrasi ke arah elektoral lebih mendapatkan sorotan dari pada membereskan seluruh institusi kenegaraan. Disitulah celah yang memungkinkan oligarkhi tumbuh dan membentuk networking yang sangat kuat sehingga jika tidak ada perubahan yang drastis tidak akan terjadi perubahan. Dalam partai-partai di Indonesia terbentuk semacam inner circle yang menguasai aset dan informasi sehingga orang-orang di outer circle tak mampu menembus dan mengetahui apa yang terjadi dalam inner circle. Di ditulah sumber penyakit itu tercipta.  Di satu sisi Indonesia ingin tumbuh menjadi negara demokrasi liberal, namun tidak memiliki peralatan berupa mekanisme kontrol yang memadai.

Demikianlah pengertian dan asal muasal terbentuknya praktek politik kartel di Indonesia yang menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan merampok uang negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh komplotan yang bersarang di partai-partai politik. Maka tidak heran kalau kasus-kasus besar seperti kasus skandal Bank Century, Kasus pengemplangan pajak yang melibatkan Gayus Tambunan atau kasus besar lain seperti kasus asuransi TKI di Kemenakertrans sulit dipecahkan. Ini semua terkait dengan praktek kartel politik di seluruh partai. Bagaimana cara melawan pertumbuhan dan mengguritanya praktek politik kartel ini?

Kadin perkirakan Kartel Pangan capai Rp11,3 triliun

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan potensi kartel pangan nasional mencapai Rp11,3 triliun dari total impor pangan sebesar Rp90 triliun.

"Kita 'highlight' ada di enam komoditas pangan yang berpotensi punya praktik kartel. Dari enam saja sudah bisa diperkirakan mencapai Rp11 triliun," kata Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Tertinggal/Bulog Natsir Mansyur dalam diskusi mengenai kartel pangan di Jakarta, Kamis (7/2/2013).

Natsir mengatakan perkiraan nilai itu didapat jika perusahaan mengambil keuntungan minimal, yakni sekitar Rp1.000 per kilogram.

Menurut dia, produksi dalam negeri yang mengalami kekurangan membuat pemerintah membuka keran impor pangan seperti daging sapi, ayam, gula, kedelai, jagung dan beras.

Potensi keuntungan praktik kartel pangan yang besar itu, menurut peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Ina Primiana, mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan.

"Dalam hal ini, gula misalnya, daging misalnya, jelas ini harus open bidding (lelang terbuka) pengadaan impor itu sehingga kawan-kawan dari KADIN ini bisa ikut semua, tidak tertutup. Ini kan tidak transparan kalau tertutup begini," jelas  salah seorang Komisioner KPPU, Munrokhim Misanam, usai jumpa pers di Menara KADIN, Jakarta, Kamis (7/2).

Dengan perspektif yang dimiliki saat ini, KPPU berharap persaingan usaha dapat terlindungi dan melalui open bidding-lah salah satu caranya.

Selain open bidding, KPPU juga menyarankan agar pengawasan serta pengawasan.

"Pengawasan lah, KPPU sekarang pencegahan, melakukan kajian itu kemudian kalau terjadi indikasi ke arah sana (tidak transparan) kita ingatkan. Kalau masih bandel, kita lakukan tindakan. Tapi kita pendekatannya adalah pengawasan untuk pencegahan," tutupnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Pemberdayaan Daerah Tertingga/BULOG Natsir Mansyur mengatakan banyak pengusaha mempermainkan komoditas pangan Indonesia. Permainan ini terjadi lantaran ketidakseimbangan antara supply dan demand. Namun, Natsir tidak menyebutkan pengusaha tersebut. Pendapat ini mengamini dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan dugaan kartel dibalik kelangkaan daging sapi.
Natsir menyebutkan beberapa komoditas yang berpotensi ada permainan kartel di baliknya. Komoditas tersebut di antaranya adalah daging sapi. Perkiraan kartel yang terjadi di sektor ini mencapai Rp340 miliar.
Selain daging sapi, komoditas lain adalah daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. Permainan kartel yang terjadi di enam komoditas ini mencapai Rp11,34 triliun. Namun, Natsir mengatakan data-data ini masih diperlukan perhitungan akademik yang lebih akurat.

“Komoditas memang masih dipermainkan,” paparnya dalam diskusi publik mengenai kartel pangan di Jakarta, Kamis (7/2).

Pernyataan Natsir juga diperkuat oleh Kadin Jawa Timur. Ada banyak pemain-pemain kartel dalam komoditas pangan, seperti daging sapi. Begitu juga halnya dengan KADIN Sumatera Selatan. Kadin Sumatera Selatan juga meyakini adanya permainan kartel dalam krisis daging sapi ini.

Senada dengan Natsir, Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin, Ina Primiana mengatakan sejumlah produk pangan lokal kerap mengalami praktik kartel. Praktik inilah yang diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan pangan.

Keyakinan terhadap adanya potensi kartel, Ina mengatakan kartel tidak sulit dibuktikan. Cukup dengan melakukan perbandingan harga dengan negara lain. Menurutnya, harga daging yang dijual di pasar Indonesia terjadi peningkatan harga yang signifikan dan sangat mahal dibandingkan dengan harga asalnya.

Lebih lagi, selain dilihat dari perbandingan harga, Ina juga telah mengetahui perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan kartel. Namun, pemerintah juga tidak bertindak.

Merujuk pada hal tersebut, Ina juga mengingatkan semua pihak untuk lebih memperhatikan KPPU, terkait permainan kartel. Ketika KPPU telah berteriak ada kartel, para pihak seharusnya dengan sigap menindaklanjuti laporan tersebut.

"KPPU harus lebih didengar. Tidak dibiarkan seperti yang terjadi akhir-akhir ini," pungkas Ina.

Menanggapi komentar Ina, Komisioner KPPU Munrokhim Misanam mengatakan pihaknya telah melaporkan perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan permainan kartel. Namun, laporan tersebut belum ditindaklanjuti pemerintah. Sayangnya, Munrokhim tidak dapat mengingat perusahaan apa saja yang turut bermain.

“Dari sembilan bendera, ada enam bendera yang kartel. Tapi ga hafal saya,” ucapnya ketika ditanya wartawan dalam kesempatan yang sama, Kamis (7/2).

Adapun langkah strategis yang akan dilakukan KPPU dalam menindak lanjuti indikasi kartel adalah mendorong dilakukannya tender yang transparan terkait pengadaan impor pangan, termasuk daging sapi. Pengadaan impor tersebut harus dilakukan open bidding agar persaingan usaha dapat berlangsung secara adil.

Langkah lain adalah perlunya pengawasan ekstra terhadap berbagai komoditas. Jika dalam pengawasan tersebut masih terdapat perusahaan yang melakukan kartel meski telah diingatkan, KPPU akan segera melakukan tindakan tegas.

"Kalau masih bandel, kita lakukan tindakan. Tapi pendekatannya adalah pengawasan untuk pencegahan,” pungkasnya.