Fenomena kartel ekonomi pangan di Indonesia sebenarnya telah
ditengarai sejak lama, dengan struktur pasar, tingkah laku dan praktik
yang beragam. Sebagian besar kartel pangan sudah bersifat amat
struktural sehingga penyelesaiannya tidak akan pernah cukup jika hanya
sekadar pidato, pernyataan dan himbauan pejabat. Sebagian lagi, kartel
pangan sudah bersifat turun-temurun dari generasi tua pada Era Orde Baru
kepada generasi muda yang muncul pada Era Reformasi. Beberapa pelaku
baru memang mampu menerobos barriers to entry yang sengaja
diciptakan oleh para kartel ekonomi pangan, tentunya setelah mengalami
proses jatuh-bangun yang tidak sederhana. Setelah terbukti mampu
bertahan dan bahkan berkembang, pendatang baru itu seakan disambut
dengan ungkapan “Welcome to the Club” dan proses gurita bisnis ekonomi pangan selanjutnya akan berevolusi mengikuti sistem ekonomi-politik di Indonesia.
Berita dan analisis yang beredar di media massa tentang kartel pangan
sepanjang minggu lalu (Investor Daily 23 dan 25 Januari 2013), sebagai follow-up
dari Laporan Komite Ekonomi Nasional (KEN) kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), tampak terlalu kusut untuk mampu diurai
satu-per satu. Apalagi juga ditengarai bahwa sebagian besar kartel
ekonomi pangan ini terafilisasi dengan raksasa bisnis global yang selalu
menganggap Indonesia sebagai pasar besar yang menggiurkan. Potensi
keuntungan kartel ekonomi pangan sampai belasan atau puluhan triliun
rupiah tentu menarik bagi siapa pun yang hanya berniat mengerek
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pada hampir setiap jengkal kegiatan ekonomi pangan, peluang
terjadinya fenomena kartel atau tepatnya persaingan usaha tidak sehat
selalu muncul. Selain karena kecenderungan perburuan rente di kalangan
pelaku ekonomi yang tumbuh subur, fenomena kartel juga muncul karena
lemahnya struktur penegakan aturan main, lemahnya pengawasan dan
buruknya kualitas kebijakan ekonomi secara umum. Walau masyarakat dan
Pemerintah sudah paham bahwa kartel ekonomi pangan merupakan salah satu
bentuk dari praktik persaingan usaha tidak sehat dan membawa biaya
sosial-ekonomi yang tidak sedikit, upaya mengatasi dan mengurangi
fenomena kartel ini tidaklah mudah.
Pendekatan legal formal yang ditempuh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dan pengadilan niaga di Indonesia tentu tidak akan cukup
untuk menanggulangi persoalan struktural dan menggurita tersebut.
Apalagi, jika pada banyak kasus lembaga negara tersebut justeru menjadi
pihak yang kalah di tingkat pengadilan. Jika pun lembaga negara
memenangi proses pengadilan dan menjatuhkan sanksi nominal berupa denda
dan sanksi pencabutan izin usaha sekalipun, dampak distortif yang
terlanjur ditanggung oleh perekonomian telah demikian besar. Sanksi
hukum itu terkadang terkesan hambar karena proses pengadilan yang
bertele-tele dan melelahkan, sementara persoalan di lapangan telah
bermetamorfosis menjadi persoalan lain yang lebih kompleks.
Pemerintah perlu secara cerdas mencari solusi kebijakan yang lebih
bersifat struktural, mulai dari sektor produksi di hulu, sektor
distribusi dan perdagangan di tengah, sampai pada sektor konsumsi di
hilir. Solusi kebijakan ini wajib dilakukan oleh segenap instansi
pemerintah yang terlibat dengan ekonomi pangan, baki secara langsung,
maupun secara tidak langsung. Beberapa solusi kebijakan ini akan
diuraikan pada akhir tulisan, setelah penjelasan tentang penyebab atau
hakikat kartel ekonomi pangan ini.
****
Dua bentuk ekstrem struktur pasar ekonomi pangan yang dapat terlihat
dan terasakan langsung oleh masyarakat adalah struktur monopsoni plus
variannya berupa oligopsoni dan struktur monopoli plus variannya berupa
oligopoli. Struktur ekonomi pangan disebut monopsoni adalah apabila
pembeli komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa pembeli
(oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur
pasar pangan disebut monopoli apabila penjual komoditas pangan itu
hanya satu, atau beberapa penjual (ologopoli) besekongkol mengatur harga
jual komoditas pangan.
Dalam ilmu ekonomi, struktur pasar yang mendekati atau mengarah pada
dua bentuk ekstrem monopsoni/oligopsoni dan monopoli/oligopli seperti
itu dikatakan telah mengalami kegagalan pasar (market failures). Istilah kegagalan pasar ini sering disandingkan dengan istilah kegagalan negara (state failures)
yang merujuk pada ketidakmampuan negara dalam melaksanakan tugas
eksekusi program sampai pada menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri.
Kasus inefisiensi birokrasi, penyalahgunaan wewenang eksekutif,
legislatif, dan yuidikatif, non-governansi pemerintahaan atau lembaga
non-struktural kementerian adalah beberapa contoh kecil dari kegagalan
negara.
Dalam literatur ekonomi pangan, terdapat banyak kelompok komoditas
pangan yang sering menderita monopsoni/ oligopsoni dan juga terdapat
kelompok komoditas yang menderita monopoli/oligopoli. Apa pun bentuk dan
struktur pasarnya, petani dan masyarakat banyak akan selalu dirugikan
karena tidak kuasa menembus tembok-tembok struktur pasar pangan tidak
sehat atau kartel pangan ini. Sejak di tingkat usahatani di hulu, petani
sudah berhadapan dengan para tengkulak atau dengan istilah lokal pengijon, pengagep,
dan lain-lain, yang terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk
pangan. Kriteria yang ditetapkan serba tidak jelas, tidak transparan
dan tidak adil karena petani tidak memiliki alternatif pasar yang lebih
sehat. Kriteria kadar air, kadar patah, butir hijau, rendemen,
dan lain-lain seperti yang diberlakukan pada gabah, beras, jagung, tebu,
kopi, kakao, dan lain-lain lebih sering hanya searah. Posisi dan daya
tawar hampir selalu dimenangi para tengkulak karena penguasaan informasi
pasar juga berbeda.
Kondisi menjadi lebih rumit ketika secara sosiologi-psikologi para
tengkulak juga memberi pinjaman modal kerja, benh, pupuk, pengolahan
lahan dan sebagainya. Benar, bahwa satu-dua kasus tengkulak “baik hati”
yang dapat dijadikan tumpuan harapan bagi ekonomi rumah tangga petani
dan dinamika ekonomi pedesaan di beberapa tempat. Akan tetapi, secara
umum sistem tataniaga komoditas pangan tidak efisien karena manfaat
ekonomi lebih banyak dinikmati oleh mereka yang mengeluarkan jasa
sedikit, tapi dengan proporsi keuntungan yang amat besar.
Dari perspektif perdagangan, komoditas pangan strategis sering
menjadi lahan spekulasi bagi para pelaku monopoli/oligopoli, terutama
jika sifat fluktuasi harga pangan demikian tinggi dan berpotensi
menghasilkan rente ekonomi dan keuntungan besar. Pada komoditas pangan
asal impor, para pelaku kartel ini cenderung agak leluasa “mengatur”
harga jual di dalam negeri, apalagi jika kinerja produksi pangan di
dalam negeri bermasalah. Masih segar dari ingatan masyarakat kejadian
yang menimpa kedelai, gula, dan daging sapi, bahwa sebagian besar
konsumen seakan menjadi penonton di tengah persaingan tidak sehat yang
terjadi. Faktor ketidakberdayaan negara dalam menghadapi lobi dan
serbuan produk impor plus kemampuan menegakkan kebijakan stabilisasi
harga pangan, maka lengkaplah sudah dampak buruk dari kartel ekonomi
pangan ini bagi kesejahteraan masyarakat.
****
Indonesia yang mengkalim diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state)
tentu wajib segera mengatasi fenomena kartel pangan atau setidaknya
menyembuhkan penyakit kegagalan pasar pada beberapa komoditas pangan
strategis tersebut di atas. Jika kegagalan pasar ini dibiarkan terlalu
lama, maka biaya sosial-ekonomi dan politik yang harus ditanggung
masyarakat pasti lebih besar dan menimbulkan inefisiensi yang semakin
akut.
Pertama, tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan produksi,
produktivitas, dan efisiensi usahatani dan tataniaga komoditas pangan di
hulu. Kinerja produksi pangan yang baik akan mengurangi dampak buruk
dari sistem perdagangan tidak efisien, sampai batas tertentu. Perbaikan
infrastruktur keras seperti jalan, jembatan, saluran irigasi perlu
dilihat sebagai fixed variables untuk menunjang produksi pangan.
Pembenahan sistem informasi harga, informasi pasar dan teknologi baru
akan mengurangi inefisiensi sistem perdagangan atau tataniaga komoditas
pangan di tingkat lapangan. Seluruh brokrasi pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan target besar
swasembada produksi pangan dan efisiensi perdagangan ini.
Kedua, pembenahan administrasi perdagangan dalam negeri dan
perdagangan luar negeri. Terlalu miris untuk mendengar fakta bahwa
birokrasi pemerintah tidak mengetahui jumlah gudang pangan atau tidak
memiliki data tanda daftar gudang (TDG) dari pelaku usaha pangan.
Setelah informasi gudang pangan dapat dikuasai, tentu arus pergerakan
barang dari satu titik ke titik lain akan dengan mudah diestimasi,
berikut fluktuasi harga yang terjadi. Administrasi data ini adalah
cikal-bakal pencegahan praktik persaingan usaha tidak sehat, bahkan
sampai pada penimbunan dan spekulasi harga yang menimbulkan dampak
distortif.
Ketiga, peningkatan wibawa dan kapasitas lembaga pengawas
persaingan usaha. Langkah ini dimulai dari awareness di tingkat dasar
dan perbaikan pendidikan atau pemahaman tentang fenomena kartel dan
kegagalan pasar ini. Apabila terdapat beberapa hambatan dalam penerapan
pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka KPPU,
Pemerintah dan Parlemen tidak harus merasa tabu untuk memperbaiki
aransemen kelembagaan yang paling strategis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar