Dengan Cara Apa Melawan Politik Kartel

Merebaknya berbagai kasus korupsi besar di Indonesia  ditenggarai melibatkan partai-partai besar di negeri ini. Ketidakmampuan partai menggalang dana dari publik mendorong hampir semua partai di Indonesia mencari sumber pendanaan dengan jalur ilegal. Maka menjamurlah praktek politik kartel sebagaimana yang dimaksud dalam bagian pertama tulisan ini. "Semua partai melakukan politik kartel," ujar Eva Kusuma Sundari, politisi dari PDI-P dalam diskusi mengenang satu tahun wafatnya Asmara Nababan, akhir Oktober lalu. Keinginan untuk mengakhiri praktek-praktek buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi semacam ini menjadi kegelisahan bersama sebagian peserta diskusi dan juga para pembicara.

Akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dodi Ambardi menyodorkan beberapa pendapat yang bisa diterapkan dalam menghentikan aktivitas yang serupa perampokan dana publik yang dilakukan secara bergerombol dan melibatkan mesin-mesin politik besar ini. Menurutnya, gagasan memperbesar anggaran pemerintah untuk partai politik bisa mencegah membesarnya praktek politik kartel ini. Meski mendapat sanggahan dari beberapa peserta diskusi yang tidak setuju dengan gagasan ini, akademisi ini tetap yakin bahwa laju gerak kartel-kartel politik tidak bisa dihentikan dengan sekedar himbauan moral. Selain itu upaya membuat biaya pemilu agar lebih murah patut didukung untuk me-rem keinginan partai dalam untuk mendatangkan uang sebesar-besarnya untuk keperluan kampanye dalam pemilu. Ide lain yang harus dicoba adalah mulai pentingnya mencari aktor-aktor yang bisa mengimbangi dominasi partai dan harus memiliki intimidatif efek yang kuat, sebagai contoh ide membuka lebar-lebar calon independen dalam pemilu dan pilkada.

Dari sudut pandang politisi seperti Eva Kusuma Sundari melihat salah satu sumber penyebab munculnya praktek kartel politik adalah sistem pemilu yang justru memunculkan siklus dimana hanya politisi yang memiliki uang yang dimungkinkan untuk menang. Dalam sistem pemilu tahun 2009, diantara politisi dalam satu partai yang sama saling baku hamtam untuk bisa menang dalam pemilihan legislatif. Politisi tak hanya menghadapi politisi dari partai lain, namun juga rekan sejawatnya bisa memangkas perolehan suara dengan "souvenir" dimana para politisi mendatangi basisnya dengan membawa souvenir berupa uang. Yang menang adalah yang membawa souvenir paling besar. Sistem pemilu yang demikian mempengaruhi partai partai politik menerapkan rekruitment anggota hingga pemilihan elit-elit partai menggunakan pola yang serupa yaitu siapa yang mampu mendatangkan uang besar untuk partai, dialah yang akan dipilih. Hal seperti ini melumpuhkan peran-peran partai sebagai agen yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mandat tersebut tidak jalan karena politisi harus bertugas mendatangkan uang agar posisinya aman dalam partai. Sistem pemilu yang demikian ini harus diperbaiki. Perbaikan undang-undang pemilu menjadi relevan dalam hal ini.  Gagasan Lain dari politisi ini adalah ide untuk menghargai perolehan suara dengan rupiah dari anggaran pemerintah kepada partai politik.

Hal penting lain yang diusulkan Eva adalah perlunya mekanisme evaluasi partai politik. Para politisi harus dievaluasi berdasarkan kinerja secara rasional. Hal demikian akan mengikis feodalisme yang mengakar dalam partai politik. Selain itu Eva juga menjelaskan bahwa menguatnya  berbagai praktek buruk pada partai politik juga disebabkan oleh tidak siapnya masyarakat dalam memahami demokrasi. Sebagai indikasi pemenang mayoritas yang dipilih dalam pemilu tak selalu politisi yang baik.

Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma mengatakan bahwa sumber praktek politik kartel yang pada dasarnya merupakan praktek politik oligarki adalah partai politik. Bagaimana mengatasinya?  Pertama, reformasi partai adalah pekerjaan yang besar karena ketertutupan di partai sungguh luar biasa. Contohnya adanya inner dan outer circle dalam partai yang merupakan penyakit sesungguhnya dari sistem kepartaian yang akan masuk dalam sistem parlemen melalui kontrol yg dilakuan dewan pengurus pusat (DPP) sebuah partai politik  terhadap fraksi dan anggota. Jika ada politisi di parlemen yang tidak berkenan di hati DPP maka akan dilakukan penggantian antar waktu (PAW). Kedua, sebagaimana sedang diupayakan oleh KEMITRAAN (Partnership-red) yaitu membagi pemilu dalam dua kali pelaksanaan yaitu pelaksanaan pemilu nasional di dua tahun pertama dan pelaksanaan pemilu lokal di dua tahun berikutnya. Sistem demikian sebetulnya bisa mencegah kongkalikong antar orang pusat dan daerah. Tapi konsep ini tidak akan lolos begitu saja karena partai politik dan parlemen tidak ingin dikontrol. Ide ini akan makin sulit dilakuan dan hanya bisa  dilakukan jika partai dibubarkan. Tidak ada cara apaun untuk pecahkan oligarkhi. Ketiga, oligarkhi terlibat dalam kapital, oleh karena itu kasus-kasus besar tidak akan selesai karena saling menutupi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar