Demi Untung, Kartel Pangan Permainkan Panen dan Regulasi

LENSAINDONESIA.COM: Logika perdagangan bebas, impor pangan, dijadikan sebagai alasan untuk menurunkan harga pangan di dalam negeri agar terjangkau.

Namun faktanya tidak terjadi, harga pangan di dalam negeri adalah yang tertinggi di dunia. Rakyat yang sudah miskin, dimana 110 juta diantaranya hanya berpendapatan dibawah Rp 12 ribu/hari semakin sengsara.

Harga beras di Indonesia tertinggi di dunia. Harga daging mencapai Rp. 90.000 adalah yang tertinggi di dunia. Demikian juga dengan harga kedelai, susu dan komoditas lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta, Salamuddin Daeng menyebut sejumlah modus. Diantaranya, pada saat panen petani berlangsung, penguasa mendorong impor, menghancurkan harga.

“Lalu para spekulan menyimpan stok di gudang pangan mereka. Pada saat musim paceklik, harga pangan dinaikkan, sehingga kartel mengambil untung sangat besar,” ungkap Daeng di Jakarta, Minggu (10/02/13).

Menurutnya, harga pangan tinggi menjadi dasar setoran kartel kepada pejabat pemerintah dan DPR. Ruang abu-abu dalam peraturan impor, seperti lisensi dan kuota impor dijadikan alat mengambil untung secara simbiosis mutualisme dengan kartel pangan.

Pemerintah dan DPR korup dituding Daeng sebagai dalang dibalik kartel pangan. DPR memainkan peran memuluskan kartel memperoleh kuota, ijin impor dan spekulasi harga pangan. Kartel inilah yang menjadi sebab mahalnya harga pangan di tingkat konsumen.

“Perdagangan bebas dan kartel menghasilkan dua hal, hancurnya harga produk pertanian petani yang menyebabkan petani bertambah miskin dan naiknya harga produk pertanian, pangan di tingkat konsumen,” tandas Daeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar