Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menuntaskan penyusunan draf pedoman
pelarangan kartel. Pedoman ini bertujuan untuk mewaspadai potensi
terbentuknya perilaku kartel. Namun demikian, draft pedoman tentang
pelarangan kartel yang rencananya akan disahkan oleh KPPU pada sekitar
bulan April, mengalami pengunduran hingga saat ini. Hal tersebut
memunculkan pertanyaan, sebenarnya hal apa saja yang menjadi alasan
diundurnya pemberlakuan pedoman tersebut? Padahal sejauh ini telah
terdapat berbagai kasus mengenai kartel seperti kartel sms, kartel fuel surcharge, kartel garam, kartel semen dan kartel minyak goreng.
Pengertian kartel adalah
kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi
kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu
barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat
keuntungan yang wajar. Peraturan tentang kartel tersebar dalam berbagai
pasal di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No. 5 Tahun 1999), seperti pasal 5 tentang kartel harga (price fixing),
pasal 9 tentang kartel wilayah dan Pasal 11 tentang kartel produksi dan
pemasaran. Menurut pasal 35 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku
usaha melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 16 maka KPPU akan melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan
pasal tersebut maka jika pelaku usaha terindikasi melakukan kartel maka
yang harus dinilai oleh KPPU adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah
yang akan menjadi alat bukti adanya kartel. Masalahnya, pembuktian
dengan menggunakan perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit
dilakukan. Oleh karena itulah pembuktian kartel berkembang menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti secara tidak langsung dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan tool-tools
ekonomi yang memang secara ilmiah diakui dan bisa menunjukkan korelasi
antara satu fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi
pengaturan di dalamnya.
Selain itu, kartel
seringkali berjalan simultan dengan pelanggaran lain yang berpotensi
berseberangan dengan aturan dalam UU No. 5/1999. Yakni, Pasal 5
(penetapan harga)¸ Pasal 9 (pembagian pasar), Pasal 10 (pemboikotan),
Pasal 12 (trust), Pasal 22 (persekongkolan tender), Pasal 24
(persekongkolan menghambat produksi dan atau pemasaran). Nah, menurut
pasal 35 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melakukan
pelanggaran pasal 17 sampai dengan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai
kegiatan terlarang maka KPPU akan melakukan penilaian terhadap kegiatan
usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Jadi,
yang dinilai oleh KPPU dalam hal ini adalah tindakan atau perilaku
pelaku usaha yang bersangkutan. Lantas timbul pertanyaan. Jika perilaku
pelaku usaha telah memenuhi ketentuan pasal-pasal tersebut, apakah
pelaku usaha yang bersangkutan dapat diindikasikan kartel walaupun tidak
terdapat perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun
1999? Apa parameter yang digunakan KPPU untuk menilai perilaku pelaku
usaha yang dapat diindikasikan kartel?
Memang,
dalam draft pedoman kartel dapat ditemukan ketentuan mengenai indikator
awal terjadinya kartel yakni melalui faktor struktural dan faktor
perilaku. Faktor struktural antara lain tingkat konsentrasi dan jumlah
perusahaan, ukuran perusahaan, homogenitas produk, kontak multi pasar,
persediaan dan kapasitas produksi, keterkaitan kepemilikan, kemudahan
masuk pasar, karakter permintaan dan kekuatan tawar pembeli. Sedangkan
faktor perilaku, antara lain transparansi dan pertukaran informasi serta
peraturan harga dan kontak. Namun permasalahannya, parameter atau
ukuran yang jelas mengenai indikator awal tersebut tidak juga ditemukan
dalam draft pedoman kartel. Inilah yang dikeluhkan oleh para pelaku
usaha. Berbagai macam penafsiran mengenai indikator awal akan timbul,
dan hanya KPPU–lah yang dapat menilai apakah tindakan atau perilaku
pelaku usaha tersebut telah terindikasi kartel.
Lebih
lanjut, salah satu faktor terjadinya kartel adalah melalui asosiasi
pengusaha yang merupakan pertemuan rutin antara para pengusaha. Biasanya
setiap sector usaha memiliki asosiasi masing-masing. “Paguyuban”
tersebut bertujuan sebagai wadah pertemuan antara para pengusaha yang
saling berbagi pengalaman. Nah, apakah rapat atau pertemuan dalam rangka
berbagi pengalaman tersebut dapat diindikasikan sebagai kartel?
Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, pengaturan kartel oleh KPPU bertujuan untuk menjamin hak berkompetisi sehat bagi pelaku usaha dan peluang kesejahteraan konsumen. Kita pun sebagai konsumen telah menikmati keuntungan dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh KPPU. Misalnya dalam kasus kartel SMS, konsumen akhirnya dapat merasakan harga SMS yang ditawarkan para pelaku telekomunikasi selular yang kompetitif. Sebagai informasi, dalam penanganan kartel di beberapa negara, kartel telah berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif yang sudah pasti terjadi oleh karena adanya suatu tindakan. Bahkan, di beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal karena dianggap merugikan masyarakat. Namun memang di Indonesia, kartel masih bersifat rule of reason.
Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, pengaturan kartel oleh KPPU bertujuan untuk menjamin hak berkompetisi sehat bagi pelaku usaha dan peluang kesejahteraan konsumen. Kita pun sebagai konsumen telah menikmati keuntungan dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh KPPU. Misalnya dalam kasus kartel SMS, konsumen akhirnya dapat merasakan harga SMS yang ditawarkan para pelaku telekomunikasi selular yang kompetitif. Sebagai informasi, dalam penanganan kartel di beberapa negara, kartel telah berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif yang sudah pasti terjadi oleh karena adanya suatu tindakan. Bahkan, di beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal karena dianggap merugikan masyarakat. Namun memang di Indonesia, kartel masih bersifat rule of reason.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar