Memberangus Kartel

Kartel itu (maaf) mirip orang buang angin: Mudah dirasakan oleh lingkungan, namun sulit dibuktikan siapa pelakunya.
 
Konsumen bisa dengan cukup mudah merasakan adanya kejanggalan pada penetapan harga suatu produk atau komoditas, tetapi tidak semudah itu membuktikan adanya kesepakatan harga di antara para produsen atau penjual.
 
Secara sederhana, kartel bisa disebut sebagai kesepakatan untuk mengatur harga. Kesepakatan itu bisa berupa pengaturan jumlah produksi, pangsa pasar, alokasi pelanggan, alokasi daerah, pengaturan penawaran, pembagian keuntungan, maupun penetapan harga itu sendiri.
 
Dengan ungkapan yang lebih kasar, kartel bisa disebut persekongkolan alias konspirasi yang biasanya lebih menguntungkan pemain besar sekaligus merugikan konsumen dan pemain kecil. Bila ada kartel, berarti ada persaingan yang tidak sehat di sana.
 
Berbeda dengan monopoli yang pengausaan komoditasnya dipegang oleh satu pemain, kartel merupakan dampak oligopoli yang melibatkan banyak pemain. Pada umumnya, membuktikan adanya kartel jauh lebih sulit daripada membuktikan adanya monopoli. Di Indonesia, baik kartel maupun monopoli menjadi ranah yang ditangani pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
 
Kartel kian berbahaya ketika menyangkut produk pangan. Seperti diberitakan harian ini edisi kemarin, Kamar Dagang dan Industri Indonesia mensinyalir adanya praktik kartel pada sejumlah komoditas pangan. Hal ini tercermin dari lonjakan harga produk pangan beberapa waktu terakhir.
 
Menurut perkiraan Kadin Indonesia, potensi kartel produk pangan amat besar. Tidak tanggung-tangung, nilainya sampai Rp11,3 triliun. Selain Kadin Indonesia, laporan Komite Ekonomi Nasional (KEN) juga menyatakan hal senada.
 
Kendati sulit dibuktikan karena mirip dengan konspirasi, indikasi kartel mudah dilihat, misalnya dengan cara membandingkan harga produk sejenis di luar negeri.
 
Sebagai contoh, dugaan adanya praktik kartel daging sapi menguat setelah harga daging sapi meningkat hingga level Rp90.000-Rp95.000 per kg. Padahal, harga daging sapi di Malaysia, berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada Desember 2012, hanya Rp50.000 per kg sedangkan Singapura, Thailand, dan Australia berkisar Rp40.000 per kg-Rp50.000 per kg.
 
Di luar daging sapi, komoditas seperti gula dan kedelai juga rawan praktik kartel. KPPU yang bertugas mengawasi persaingan usaha, telah melakukan advokasi kepada pemerintah terkait dengan gula dan kedelai. Sayangnya, menurut KPPU, belum ada tindakan konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
 
Kartel bisa terjadi karena lemahnya manajemen pangan nasional, penguasaan pasar oleh para pemain kelas kakap, atau bahkan bisa secara tidak langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
 
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya tentu terkait dengan beberapa penyebab di atas. Memperkuat pengawasan, menata manajemen pangan, meninjau kembali kebijakan yang berpotensi menimbulkan kartel, serta memperhatikan betul penguasaan komoditas oleh pemain besar merupakan langkah yang perlu diambil.
 
Menarik untuk menyimak apa yang diusulkan oleh Komisioner KPPU Munrokhim Misanan terkait dengan hal ini. Menurutnya, pengaruh kartel bisa dipatahkan antara lain dengan proses penawaran terbuka dalam pengadaan impor yang transparan sehingga para pelaku usaha dapat berpartisipasi.
 
Memang, dengan tender terbuka, beberapa persoalan dapat terselesaikan sekaligus menyangkut pengawasan, distribusi kuota, variasi pemain, maupun peluang kong kalikong. Sudah barang tentu, instrumen pengawasan dan pengaturan yang lain perlu diperkuat.
 
Kita juga berharap upaya untuk serius mencermati dan memberangus kartel tidak hanya untuk komoditas pangan, melainkan juga untuk produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kart el bukan hanya merugikan konsumen melainkan juga merugikan para pelaku usaha lain di bidang yang sama.
 
Tidak berlebihan kiranya kita berharap KPPU dan pemerintah lebih sigap dan tegas dalam merespons indikasi adanya kartel di berbagai bidang yang belakangan ini mengemuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar