Memahami Makna Politik Kartel

Mendiang Asmara Nababan dikenang sebagai sosok yang kuat upayanya dalam mempelajari berbagai hal, termasuk hal yang sama sekali baru. Melihat berbagai kasus faktual saat hampir semua partai ditengarai memiliki komplotan yang terjangkiti penyakit korupsi beraneka ragam bentuk membuat kita makin bertanya-tanya. Gejala apakah ini? Bagaimana memaknai fakta yang ada? Maka dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya Asmara Nababan, Demos mengajak kita untuk  menghidupkan spirit belajar seperti yang dimiliki Asmara Nababan dengan makin mencari jawaban atas pertanyaan apa yang terjadi sekarang ini merupakan praktek politik kartel? Dan apa makna sesungguhnya dari politik kartel? ? Bagaimana melawannya? Dalam diskusi bertema “Melawan Politik Kartel”, Demos menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Dodi Ambardi (Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada - UGM), Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Majalah Prisma), Eva Kusuma Sundari (Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan – PDI-P) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Di kesempatan pertama, Dodi Ambardi menjelaskan bahwa saat ini konsepsi tentang makna kartel sudah berkembang demikian luas. Banyak sekali ahli mengajukan definisi yang berbeda-beda. Akibat luasnya pengertian tersebut maka kita tak lagi bisa menunjukan distingsinya. Jika kita tak lagi bisa mengenali batas-batasnya maka kita tak bisa lagi mengkaji serta tidak tahu implikasinya sehingga pengertian tersebut menjadi tak berguna dan kita tak bisa melawannya. Menurut Dodi Ambardi dalam makalahnya, konsep kartel pertama kali dikenalkan oleh Daniel Katz dan Peter Mair tahun 1995 dimana pada masa tersebut mulai bermunculan partai-partai baru yang bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok. Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodir dalam politik elektoral seperti kelas buruh. Partai massa berkembang dari sisi masyarakat dan partai ini menjadi lembaga penengah yang menjadi kanal kepentingan kelompok buruh. Sumber kehidupan partai ini berasal dari anggota baik secara finansial maupun dukungan kampanye. Namun ketika negara sudah mulai membuat regulasi yang membuat mereka mulai sejahtera, anggota partai ini mulai kehilangan militansinya. Partai massa mulai kehilangan anggota dan sumber pendanaan mereka. Partai mulai mencari sumber pendanaan baru dari negara. Hal ini terjadi di negara-negara Skandinavia dan menjalar ke Eropa Barat dimana negara memberikan subsidi pada partai politik. Akhirnya jarak partai dan masyarakat menjauh. Partai tak lagi menjadi milik dan bagian masyarakat namun menjadi bagian dari negara.

Partai-partai massa akhirnya tampak bermetofora dan makin menguat ciri-ciri sebagai kartel politik pada dirinya. Tidak ada lagi perdebatan ideologi diantara partai-partai tersebut karena partai-partai makin akur akibat persamaan kepentingan untuk mendapatkan sumber pendanan. Dalam hal ini Eva Kusuma Sundari juga menyebutkan hal yang hampir sama mengenai ciri-ciri kartel politik yaitu: pertama, menghilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi antar partai. Kedua, sikap permisif dalam pembentukan koalisi. Ketiga, tiadanya oposisi yang benar-benar melakukan kritik terhadap pemerintah. Keempat, pemilu tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai. Kelima, kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Di Indonesia menguatnya politik kartel terjadi pada pasca reformasi. Setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto, hanya partai politik saja yang tidak terjangkiti gejala reformasi. Partai politik tetap memiliki ketertutupan yang luar biasa kuat.

Sementara itu Daniel Dhakidae memiliki penekanan yang berbeda dalam membahas kartel politik ini. Menurutnya "kartel" adalah istilah yang sangat formal dan dikenal dalam konsep ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam  masyarakat kapitalis. Telah terjadi transmutasi istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik.  Sebenarnya oligarkhi merupakan tempat asal muasal kartel dalam konsep politik. Konsep mengenai oligarkhi ini telah berumur seratus tahun lebih dan memiliki ruang yang lebih besar dan luas dari pada kartel. Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan kecenderungan  hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara. Sekitar tahun 1998 Indonesia dihadapkan pada situasi krisis besar dimana terdapat situasi dimana Pancasila tak berharga. Pengertian rakyat berharga hanya sekedar teori. Yang sesungguhnya terjadi tak ada kehidupan politik di luar partai politik. Ada kekeliruan besar yang terjadi dalam proses pasca 1998 dimana perubahan perbaikan demokrasi ke arah elektoral lebih mendapatkan sorotan dari pada membereskan seluruh institusi kenegaraan. Disitulah celah yang memungkinkan oligarkhi tumbuh dan membentuk networking yang sangat kuat sehingga jika tidak ada perubahan yang drastis tidak akan terjadi perubahan. Dalam partai-partai di Indonesia terbentuk semacam inner circle yang menguasai aset dan informasi sehingga orang-orang di outer circle tak mampu menembus dan mengetahui apa yang terjadi dalam inner circle. Di ditulah sumber penyakit itu tercipta.  Di satu sisi Indonesia ingin tumbuh menjadi negara demokrasi liberal, namun tidak memiliki peralatan berupa mekanisme kontrol yang memadai.

Demikianlah pengertian dan asal muasal terbentuknya praktek politik kartel di Indonesia yang menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan merampok uang negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh komplotan yang bersarang di partai-partai politik. Maka tidak heran kalau kasus-kasus besar seperti kasus skandal Bank Century, Kasus pengemplangan pajak yang melibatkan Gayus Tambunan atau kasus besar lain seperti kasus asuransi TKI di Kemenakertrans sulit dipecahkan. Ini semua terkait dengan praktek kartel politik di seluruh partai. Bagaimana cara melawan pertumbuhan dan mengguritanya praktek politik kartel ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar