Komoditi pangan di Indonesia rentan kartel

Sindonews.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpendapat, komoditi pangan di Indonesia memang sangat rentan dengan praktek kartel. Pasalnya, bahan pangan merupakan komoditi yang sangat dibutuhkan dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Yang namanya komoditi pangan ini memang rentan dengan permainan kartel karena memang komoditi pangan itu sangat menarik," ucap Anggota DPR Komisi IV Firman Soebagyo kepada wartawan di Gedung DPR, Senin (11/2/2013) malam.

Komoditi pangan di Indonesia, lanjut Firman, memiliki potensi pasar yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 230 juta orang yang merupakan terbesar ke-4 di dunia, tentu komoditi pangan di negeri ini amat menarik minat banyak pihak yang ingin mengeruk keuntungan dengan cara-cara kotor.

"Kalau kita lihat peta dunia, negara Indonesia itu kan berpenduduk nomor empat terbesar di dunia, sehingga pasar sangat luar biasa," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, ada enam komoditas pangan yang berpotensi kartel di Indonesia. Mulai dari perdagangan daging sapi hingga beras disebut-sebut dikuasai oleh beberapa pihak.

"Komoditas strategis yang berpotensi kartel yaitu daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, beras," sebut Wakil Ketua Kadin bidang Bulog, Natsir Mansyur pekan lalu.

Sebagai indikasi adanya kartel, dia menuturkan bagaimana harga daging di Indonesia bisa sangat fluktuatif dan tidak masuk akal. "Dari 2009 ke 2012 bisa mningkat sampai 100 persen. Misalnya, daging sapi dulu Rp63 ribu (per kg) sekarang Rp95 ribu. Padahal di negara asalnya Rp53 ribu," tukas Natsir.

Untuk mencegah kartel, DPR mengusulkan pembentukan Badan Otoritas Pangan. Badan Otoritas Pangan ini akan diberi kewenangan untuk mengendalikan stok dan harga bahan pangan di dalam negeri seperti halnya Badan Urusan Logistik (Bulog) di era Orde Baru. Artinya, impor pangan tidak akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan importir yang diduga kuat melakukan kartel.

"Harga pangan ini tidak lagi diserahkan kepada mekanisme pasar. Harus dikendalikan oleh pemerintah. Nanti yang namanya Badan Otoritas Pangan itu diberi kewenangan penuh seperti Bulog zaman dahulu," jelas Firman.

SPC, Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengendus adanya praktek kartel di harga, stok, dan pasokan pangan. Laporan Kadin juga didukung oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang mengatakan sejumlah produk pangan lokal kerap mengalami praktek kartel. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah kartel sama dengan korupsi?

“Apakah kartel korupsi? Bisa jadi karena ada praktek kebijakan yang menguntungkan sebagian orang dan menyengserakan banyak orang,” tegas Ketua LP3E Kadin Indonesia Ina Primiana di Gedung Kadin Kuningan Jakarta, seperti dikutip, Jumat (8/2/2013).

Dengan begitu pemerintah harus membuat regulasi yang membatasi jumlah importir produk pangan utama dan hanya terkonsentrasi pada beberapa pengusaha. Selain itu tender harus dilakukan secara terbuka.

“Sebenarnya tidak sulit jika ada praktek kartel kita bandingkan dengan harga di luar negeri. KPPU harus ada peranannya. Jika mereka melakukan investigasi jadi harus ada tindak lanjut,” jelasnya.

Di tempat yang sama Wakil Ketua Umum Kadin Urusan Badan Logistik Dan Pemberdayaan Daerah Natsir Mansyur mengatakan saat ini potensi dari adanya kartel yang menguasai produk pangan utama mencapai Rp 11,3 triliun.

“Ada kartel di beberapa yang berpotensi seperti daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras. Kita angkat 6 komoditi ini yang penting untuk masyarakat. Masih diperlukan perhitungan akademisnya. Ada terjadi kartel potensi transaksi Rp 11,3 triliun,” tandasnya.

Lonjakan harga pangan hampir setiap tahun terjadi di negeri yang konon sangat subur dengan kekayaan alam dan hayati. Setiap menjelang hari raya harga kebutuhan pokok dipastikan meningkat, atau setiap Amerika Serikat dikabarkan terkena dampak cuaca buruk, harga kedelai melonjak tinggi. Bahkan daging sapi pun yang kata pemerintah stok nasional aman, hingga saat ini, ogah turun dari harga Rp 90.000 per kilogram.

Ternyata, dari melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat, kartel bahan pangan telah merajalela di negeri ini. Seenaknya mereka menaikkan harga dengan keuntungan di atas 30 persen. Selama tiga tahun terakhir ini pemerintah tidak bisa berbuat untuk menurunkan harga atau menghilangkan kartel.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Munrokhim Misanam mengakui hal tersebut. Bahkan, mengguritanya kartel menurut perhitungan Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia telah merambah pada enam bahan pangan yang diperlukan masyarakat.

Dalam catatan LP3E, importir bahan pangan diduga mengambil untung lebih dari 30 persen. Dengan perhitungan setiap importasi bahan pangan per kilogram importir mendapat fee Rp 1.000, maka aksi kartel selama setahun mendatangkan untung Rp 11,3 triliun.

Kepala Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Ina Primiana mengatakan kartel muncul lantaran mekanisme tender abu-abu, khususnya soal berapa harga jual dan ke mana mereka akan mendistribusikan barang. "Ketika tender, importir harus ditanya harga yang dijual berapa. Jadi penentuan kuota tergantung dari harga yang ditetapkan," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/2).

KPPU mengaku telah mengantongi nama perusahaan yang melakukan kartel seperti dalam hal importasi gula. Dari sembilan yang diduga kartel, dari temuan lembaga tersebut, mengerucut jadi enam yang menguasai gula di seluruh Indonesia dan diduga melakukan kartel.

Munrokhim menyarankan kementerian teknis seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian menjelaskan detail kepada publik, apa alasan sebuah perusahaan mendapat jatah impor tertentu untuk mengatasi kartel bahan pangan.

"Kalau perspektifnya KPPU ya kita ingin melindungi agar persaingan bisa masuk. Itu hanya bisa dilakukan dengan tender terbuka, jadi pengadaan impor itu semua harus bisa ikut," katanya.

Pengusaha Fransiskus Welirang menyatakan standarisasi dari pemerintah soal harga bahan pangan berdasarkan kualitas harus dibuat. Bila tidak, kartel pangan bakal bermunculan dan membuat masyarakat harus membayar lebih mahal untuk komoditas yang seharusnya bisa lebih murah.

Dia mencontohkan dalam praktik niaga kedelai, petani kerap dirugikan lantaran aksi importir. Pengusaha mendatangkan kedelai kualitas jelek yang seharusnya untuk pakan ternak. Tapi petani kedelai dalam negeri diminta menjual hasil panen mereka seharga kedelai impor kualitas tiga itu.

"Kalau diserahkan sepenuhnya pada swasta memang akan terus bermunculan kartel, bagaimana petani kedelai kita diadu dengan kedelai impor seperti itu," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar